Assalamualaikum Masa Depan

Citra Wardani
Chapter #2

2 - Hari Pertama

Setelah insiden tabrakan kemarin, kini mereka telah berada di sebuah pesantren yang mereka yakini bisa menjadi tempat untuk bertobat dengan tujuan menuju kisah cinta yang gemilang.

Alika, Gita, Desi, Aulia, dan Citra sedang duduk bersama dengan lima pria lainnya, yakni Alfin, Rizip, Ridho, Feri, dan Abinathan. Mereka sedang bertemu dengan seorang ustadz pembimbing di sini. "Assalamualaikum semuanya."

"Waalaikumsalam."

"Sudah ada yang kenal dengan saya?" tanya ustadz tersebut.

"Be---"

"Sudah pasti belum karena saya belum memperkenalkan diri. Perkenalkan saya Ustadz Haru. Saya akan menjadi pebimbing kalian selama menjadi santri di sini," ucap ustadz tersebut.

Kesepuluh manusia tersebut hanya mengangguk mengerti. Alfin dan Alika masih saling melemparkan tatapan sinis. Ustadz yang menyadari hal itu segera menengahi pertengkaran. "Kalian bertengkar? Jangan bertengkar ya. Nanti saya pusing. Jadi begini kalian mengambil kelas setiap sore maka dari itu kalian harus berkenalan terlebih dahulu," ucap Ustadz Haru.

"Perkenalkan saya Rizky Alfin."

"Nama saya Muhammad Rizip."

"Saya Feri Ananta."

"Assalamualaikum saya Ridho Farel."

"Saya Abinathan Pratama."

Ustadz Haru tersenyum mengangguk. Sedangkan kelima wanita ini ada banyak versi raut wajah. Jutek, biasa saja, senyum manis, datar, dan sinis. Sangat beragam.

Aulia menatap Feri dengan tatapan juteknya. Dia merasa ingin pulang saja daripada harus bertemu dengan pacarnya itu. Citra sendiri hanya seperti dirinya sendiri yang mengingat buku apa yang belum ia baca.

Seperti biasa Gita hanya dengan ekspresi datarnya menatap para pria dihadapannya. Alika sendiri masih menatap pria yang berselisih dengannya. Tatapan sinis yang membuat pria tersebut ikut menatapnya sinis.

Desi hanya tersenyum manis kepada semuanya. Pak ustadz yang menyadari kesepuluh santri barunya saling tatap-tatapan, segera menghentikannya. "Astagfirullah jangan saling tatap terlalu dalam."

"Saya Alika. Alika Almira."

"Latasha Gita. Panggilannya Gita."

"Desi. Keysha Desi"

"Wulan Shaulia. Singkatnyab Aulia."

"Lathasha Citra."

Pak ustadz mengangguk mengerti lalu mengeluarkan sebuah catatan. Catatan yang berisi peraturan yang harus mereka jalani selama menjadi santri di sana. “Bagi saya wajah Desi gak asing deh.”

“Maklum Pak muka dia emang agak pasaran.” Aulia tersenyum setelah berucap demikian namun dihadiahi sebuah pukulan hangat dari Desi.

Mereka hanya menandatangani sebuah kontrak perjanjian. Sebenarnya membingungkan ketika diminta untuk tanda tangan kontrak perjanjian tetapi lagi-lagi sepuluh manusia ini hanya menandatanganinya. "Baiklah waktu pertemuan kita setiap harinya itu pukul 4 sore kecuali jika ada yang meminta izin."

Ustad tersebut pamit untuk kembali mengajar. Sedangkan sepuluh manusia ini hanua tinggal diam. Alfin merasa wanita dihadapannya itu menatapnya sinis. "Apaan lu liat-liat?" tanya Alfin.

Alika yang merasa ditanya hanya mengedihkan bahunya. "Emang ada masalah? Mata gue juga kok," balas Alika.

"Udah berantemnya? Ayo pulang. Ngantuk," ajak Gita yang jangka waktu matanya tersisa lima watt.

Desi sendiri menggeleng pelan melihat kebiasaan teman-temannya yang terlalu saying pada kasur kesayangan mereka. "Lah ni anak molor terus. Makan dulu yuk," ajak Desi.

"Di rumah aja. Nanti bisa go-food kan." Gita masih bersikeras untuk langsung pulang. Gita jujur sangat mengantuk karena ia begadang semalam karena maraton drama.

Aulia hanya melipaat kedua tangannya dengan wajah yang sangat kesal. "Yang terpenting bagi gue adalah kita keluar dari pesantren ini. Males gue ketemu sama si Feri," ucap Aulia.

"Sabar napa. Ketampanan seseorang itu tidak bisa kita sia-sia kan." Perkataan Citra membuat keempat temannya melirik padanya. Citra sedang menatap pria yang bernama Abinathan itu sangat dalam.

Teman-temannya hanya menggelengkan kepalanya. Ini pertama kalinya mereka melihat Citra menatap seseorang sangat dalam setelah bertahun-tahun lamanya. Aulia yang melihat hal tersebut segera menepuk pundak Citra. "Lama-lama colok nih matanya. Siapa yang bilang harus tobat pacaran?" sindir Aulia.

"Yaelah. Lihat doang kali," balas Citra yang tidak bisa menyia-nyiakan ketampanan seseorang.

"PULANG WOI!" teriak Gita. Mereka akhirnya keluar dari pesantren tersebut menuju parkiran mobil. Aulia yang masih tidak terima untuk pesantren di sini menolak mentah-mentah kepada teman-temannya.

Ia menghentikan teman-temannya yang hendak melangkah menuju mobil. Sebuah keputusan yang telah Aulia putuskan.  Aulia sudah memutuskan untuk break dengan Feri. Tetapi kini dirinya harus bertemu Feri di pesantren ini. "Intinya kita harus pindah pesantren!" tegas Aulia.

"Lah gak bisa dong. Gue udah bayar uang pendaftaran kalian semua. Rugi dong gue," balas Desi. Desi adalah orang yang mencari pesantren dan menjadi palang pertama dalam pembayaran uang pendaftaran.

"Nanti Gita yang ganti uang lo itu. Kita gak boleh pesantren di sini. Intinya gak mau gue ketemu sama Feri," balas Aulia.

Mereka tidak masalah dengan uang mereka tetapi surat perjanjian di atas materai itu. Surat itu yang menghentikan Gerakan mereka. "Tapi kalau kita mau batalin juga gak bisa. Kita udah tanda tangan surat perjanjian," tambah Alika.

"Tapi kita gak baca tadi suratnya." Mereka sadar jika tak membaca satu pun dari surat perjanjian itu. Mereka merutuki kebodohannya. Tidak ada pilihan lain selain menerima dan mengikuti setiap pelajaran di pesantren ini.

Berbeda halnya dengan kelima pria ini. Mereka memiliki pandangan yang berbeda-beda dari tiap orang. Mereka sedang membahas kelima wanita tadi. "Pengen gue colok lama-lama matanya si Alika tuh," geram Alfin.

"Yaelah kagak usah gitu kali. Mobil lo lecet dikit doang. Dia cantik tau," ucap Abinathan.

Alfin menyipitkan matanya karena bingung adan berkata, "Bukannya daritadi lo liatnya si Citra?"

"Lah ngapain? Gue tuh merhatiin Alika." Abinathan menjawab pertanyaan Alfin sambal menopang dagu.

"Desi cantik tau," celetuk Ridho. Ridho sepertinya ada rasa pada Desi. Ia rasa jodohnya sudah tiba dari pengiriman.

Lihat selengkapnya