Assalamualaikum, Ustadz

Adella Kusuma
Chapter #2

Assalamualaikum, Ustadz 01

“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.”

QS. Al-Baqarah : 153


Dengan gamis hitam yang melekat pada tubuh ini, kini aku tengah berdiri di depan cermin almari. Mata bulatku menatap pantulan diri di cermin. Gamis hitam yang terlihat sedikit kebesaran ini sudah menjadi pakaian favoritku. Bukan hanya satu gamis, tetapi hampir semua gamis yang aku miliki berwarna hitam dan sedikit kelonggaran. Aku memang anak muda, bukannya aku tidak tahu tentang tren baju yang sedang marak sekarang. Tetapi, dengan pakaian yang aku kenakan sekrang ini, aku hanya ingin menjadi wanita dengan kesederhanaannya, seperti Sayidah Fatimah Az-Zahra. 

Bibir kecil bersemu merah ini tertarik ke atas, membuat lengkungan indah di wajahku. Aku merasa senang dan bahagia melihat diriku yang sekarang. Pribadi yang sangat berbeda dengan tiga tahun lalu. Jika dulu aku selalu bermanja dengan kedua orang tua, kini aku sudah tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Dan jika dulu aku selalu merasa kurang bersyukur, sekarang aku sudah bisa mensyukuri nikmat yang Allah beri dan merasa selalu cukup. 

“Bismillah ....” Tak berselang lama, aku kemudian memasang niqab yang sendari tadi kupegang. Kedua tanganku berada di sisi belakang kepala, mulai mengikat tali niqab. 

Selesai mengikat tali niqab, kedua tanganku beralih membenarkan tatanan niqab agar lebih rapi. 

“Bunda, putrimu sekarang sudah besar dan sangat cantik. Apa Bunda tidak rindu denganku?” lirihku sembari menatap pantulan diri di cermin. Semenjak masuk aku ke dalam pondok pesantren aku memutuskan untuk menggunakan niqab, dan kini aku sudah mulai menggunakannya. Ada rasa tak nyaman jika aku ke luar dari rumah tak menggunakan niqab. Bagiku niqab adalah pelindungnya. 

Dengan niqab aku merasa lebih aman, karena dengan itu tak banyak lelaki yang mau melirik diriku bahkan menggodanya. Aku bukan menyombongkan diri, tapi boleh aku katakan jika parasku memang cantik seperti nama yang diberikan Ayah dan Bunda padaku, Alishaba Sabira Khaira. Shasa, orang-orang kerap menyapaku dengan nama itu.

“Bunda ... alhamdulillah, Shasa sudah menutup aurat dengan sempurna sekarang,” ujarku sembari tersenyum tipis. 

Senyum di wajahku seketika pudar saat mendengar seseorang berteriak memanggil namaku dari luar kamar. Dengan langkah cepat aku keluar dari dalam kamar. Kaki ini terus melangkah, membawa diriku ke ruang tamu di mana seseorang yang memanggil namaku berada. 

“Ada apa, Bu?” tanyaku pada wanita bersanggul kecil di depannya itu. 

“Saya lapar, cepat buatkan makan!” perintahnya dengan tangan yang menyilang di depan dada. 

“Tapi, Ibu, Shasa mau pergi ke pengajian sekarang.” Aku berkata dengan suara lembut. 

“Saya bilang saya lapar.” Ibu berteriak, dan membuat aku tertunduk. “Inget, ya, saya ini juga ibu kamu, jadi kamu harus nurut dengan saya!"

“Maaf, Bu. Tapi, bukannya masakan pagi tadi masih ada?” ujarku memberanikan diri. Ibu berkacak pinggang sembari melototkan matanya. 

“Astaga, kamu ini tidak berpikir apa? Itu masakan dari tadi pagi dan ini sudah sore. Kamu suruh saya makan makanan basi? Memang saya ayam apa?” Aku mendongak dan menggeleng cepat. Batinku sendari tadi tidak berhenti menyebut nama Allah. Wanita bersanggul di depanku ini, yang aku sebut 'ibu' selama tiga bulan terakhir selalu saja menguji kesabaran diriku. 

Rasa sakit hati selama tiga bulan kini perlahan mulai terasa. Aku pikir setelah kembali dari pondok pesantren hidupku akan bahagia karena berkumpul dengan keluarga, tapi nyatanya aku salah. Justru rasa sakit hati, kekecewaan yang selalu aku rasakan. Itu semua karena kehadiran Ibu dan Kakak tiriku empat tahun lalu. 

Aku pikir Ibu dan Kakak tiriku sudah berubah menjadi lebih baik, tapi dugaanku salah. Ibu dan Kakak tiri justru semakin jahat padaku. Tetapi, walaupun hanya ibu dan kakak tiri, aku berusaha untuk tetap berbakti dan baik kepada mereka. Aku berusaha membalas kejahatan mereka dengan kebaikan. Walau terkadang dalam hati kecilku sering menolak berbuat baik kepada mereka. 

Lihat selengkapnya