Malam semakin gelap dan hujan di luar sana turun semakin deras. Suara air hujan yang beradu dengan tanah, jalanan dan genting terdengar memenuhi indra pendengaran. Angin yang tertiup kencang membuat dedaunan di halaman rumah bergoyang ke sana-ke mari. Kilatan putih itu terlihat dari dalam jendela kamar yang tertutupi oleh tirai.
Di dalam kamar berukuran 5 x 6 meter ini, aku yang baru saja meletakkan Al-Qur’an segera berjalan ke arah jendela kamar. Mataku sekilas melihat ke luar jendela. Hanya penerangan minim dan hujan yang turun begitu lebat yang aku lihat. Satu tanganku meraih tirai di sisi kiri jendela, kemudian menggesernya hingga ke arah kanan.
Tak lama setelah itu aku beranjak pergi menuju tempat tidur. Aku membenarkan niqab berwarna biru tua ini sembari duduk di tepi tempat tidur. Mataku terpejam dan salah satu tanganku memijit kepala yang terasa sedikit pusing.
"Astaghfirullaahaladhim." Aku mengucap istighfar berulang kali, guna menenangkan pikiran dan juga hati yang kembali bergemuruh.
Mataku perlahan kembali terbuka, kemudian tangan kananku meraih bingkai foto wanita paruh baya dan seorang lelaki berbadan kekar yang usianya tidak terpaut jauh dari wanita di foto ini. Kuusap bingkai ini berulang kali. Sudut bibirku sedikit tertarik ke atas.
"Shasa kangen semua tentang Bunda ... kasih sayang Bunda, perhatian dari Bunda .... Maafkan Shasa, Bunda, yang masih seperti anak kecil," ujarku sambil memeluk bingkai foto ini.
"Kenapa mereka jahat, Bunda?" Tangisku mulai pecah, suara isak tangisku semakin lama semakin terdengar memenuhi ruangan, seolah menandingi suara hujan di luar sana.
Kilas-kilas masa lalu kembali terputar di pikiranku. Berbagai hal indah yang kini hanya bisa aku kenang. Kejadian-kejadian di masa lalu yang tidak akan pernah terulang kembali di masa sekarang, semua hanya tinggallah sebuah kenangan pilu. Sebuah ingatan yang membuat dadaku terasa begitu sesak.
Semenjak kepergian Bunda lima tahun lalu, aku jadi merasa sendiri, hidupku terasa hampa ketika harus kehilangan sosok penyemangat hidup. Aku memang masih memiliki sosok ayah didekatku. Namun, kasih sayang Ayah mulai menghilang. Semua itu terjadi ketika Ayah memutuskan untuk menikah kembali. Ayah terlihat lebih menyayangi keluarga baru daripada diriku. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaan dan keluarga barunya. Bahkan untuk sekedar berbincang dengan aku saja sudah jarang sekali. Seolah Ayah sudah tidak menganggap aku ada dan membutuhkanku lagi. Hidupku ... terasa benar-benar sendiri.
Dan dari situlah awal kehidupan baruku dimulai. Aku yang dahulu selalu dimanja harus belajar mandiri. Aku yang dahulu selalu mendapatkan perhatian serta kasih sayang penuh kini menjadi jarang aku rasakan. Aku yang selalu aktif dan ceria kini memilih berubah menjadi pendiam. Waktu semakin berlalu, lambat laun hatiku semakin tergores. Bukan karena aku ia tidak dimanja lagi ataupun tidak bisa merasakan kasih sayang dari Ayah, melainkan hatiku terasa sakit ketika harus mendapat bentakan dan perlakuan kasar dari Ibu dan juga Kakak tiriku. Tentu, semua itu tanpa sepengetahuan Ayah.
Satu tahun aku terus saja merasakan bentakan, perlakuan kasar yang terus saja membuat hati ini terluka. Yang membuat diriku lemah.
Duar!
Pyar!
Lamunanku terbuyar. Aku menangkup wajahku dengan kedua tangan. Air mata terus saja mengalir hingga membuat niqab yang aku kenakan basah. Hatiku terasa begitu sakit, seolah ada belati yang berulang kali melukai hati ini.