Assalamualaikum, Ustadz

Adella Kusuma
Chapter #5

Assalamualaikum, Ustadz 04

Pusing di kepalaku sudah hilang. Jadi aku dapat melakukan semua aktivitas dengan cekatan. Setelah usai mencuci, menjemur baju, dan menyapu lantai kini aku tengah berkutat di dalam dapur.

Menyiapkan masakan untuk sarapan pagi. Ayam tepung yang terlihat sudah kekuningan ini aku angkat dan tiriskan minyaknya. Kemudian aku memasukkan kembali dua potong paha ayam yang berlumuran tepung ke dalam wajan berisikan minyak panas.

Sembari menunggu matang, aku menyiapkan sayur bayam yang sudah matang dan nasi ke atas meja makan. Itu sudah menjadi kebiasaanku selama tiga bulan ini, ya menyiapkan sarapan, serta makan malam. Keluargaku tidak mempunyai asisten rumah tangga, jadi aku harus membantu Ibu untuk pekerjaan rumah. Aku tidak pandai memasak banyak makanan, tetapi aku sedikit bisa karena dulu aku sering membantu Bunda memasak.

“Assalamualaikum.” Tanganku yang baru saja membalikkan gorengan ayam terhenti. Keningku berkerut saat merasa tak asing dengan suara yang baru saja aku dengar.

Aku segera mengecilkan kompor dan berbalik badan. Mataku berbinar, hatiku merasa sangat senang. Dengan senyum di balik niqab aku berkata, “Ayah ... alhamdulillah sudah pulang.”

Laki-laki dengan perut sedikit buncit, yang aku sebut ‘ayah’ itu berjalan mendekati aku. Senyum Ayah terukir jelas ke arahku. “Alhamdulillah sudah,” jawab Ayah singkat.

“Sha—”

Usapan lembut di kepala, membuat aku mengurungkan niat untuk berbicara. Mataku terpejam. Dadaku terasa berdesir, serta kedua mata yang tiba-tiba terasa memanas. Satu hal yang selalu aku nantikan dan rindukan dari sosok ayah kini terwujud.

“Angkat dulu ayamnya nanti gosong,” ujar Ayah memerintahku. Kepalaku mengangguk dan segera mengangkat ayam serta mematikan kompor.

“Ayah sudah sarapan?” lirihku, aku mencoba berhati-hati dalam berbicara dengan Ayah. Aku hanya tak ingin Ayah tahu jika aku menahan tangis, karena ada begitu besar rasa rindu di hati. Rindu akan kasih sayang dan perhatian dari seorang ayah.

Ayah menggelengkan kepalanya. Satu tangan kekarnya itu menarik tubuhku mendekat dan memelukku. Bingung. Itu yang aku tengah rasakan sekarang. Tapi tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku membalas pelukan Ayah.

Ayah, Shasa rindu ini, batinku dengan mata terpejam. Sebutir air mata berhasil turun dari sudut mataku, tapi dengan cepat aku menghapusnya. Tangis dan isakan itu tertahan hingga menyesakkan dada.

Tapi sekuat apapun aku menahannya tetap saja tak bisa. Rindu pada sosok ayah begitu menggebu dalam hatiku. “Shasa rindu sosok Ayah yang dulu,” lirihku.

Bukan membalas perkataanku, Ayah justru menjauhkan pelukannya dan berkata, “Sudah besar, ya, rupanya anak Ayah sekarang.”

Terlihat senyum tulus dari wajah lelah itu. Satu tangan kekar yang kulitnya sudah mulai keriput mengusap lembut kepalaku. Aku hanya bisa menunduk sembari menahan isak tangis yang terus saja ingin keluar.

“Sebentar lagi kamu bukan tanggung jawab Ayah.” Tepat saat itu juga aku mendongakkan kepala, menatap Ayah dengan tatapan bingung.

“Mak-maksud, Ay—” Belum sempat aku selesaikan ucapanku, jari telunjuk milik Ayah sudah mendarat tepat di depan bibirku, walaupun tertutupi oleh niqab.

“Ayah lapar, kita makan dulu. Panggil Ibu dan Kakakmu," perintah Ayah yang kemudian berjalan menuju wastafel dan mencuci tangannya.

Sedangkan aku tanpa di suruh lagi, aku segera pergi memanggil Ibu dan Kakak tiriku untuk sarapan pagi bersama.

Lihat selengkapnya