"Memang susah, ya, tadi jawab 'iya' gitu aja?" Aku yang baru saja selesai mencuci piring langsung memutar tubuh ketika mendengar suara dari arah belakang.
Aku menatap damai seorang wanita yang tengah menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Tak lama setelah itu, aku segera menunduk ketika Ibu seakan semakin menatapku tajam.
Aku meringis kesakitan ketika Ibu mencekal kuat lengan kananku.
"Bu, lepaskan ... sakit," pintaku pada Ibu. Ibu tak menghiraukan perkataan aku, ia justru semakin kuat mencekal lengan tanganku.
"Apa susahnya kamu terima lamaran Ramdan? Dia itu sudah jelas seorang pengusaha, udah kaya juga dia. Emang kamu tak mau hidup kamu ini enak?" Ibu berkata dengan ketus.
"Bu, lepaskan ... sakit." Rintihan sakit kembali keluar dari bibir ini. Beberapa detik setelah itu Ibu mendorong kasar tanganku.
Mataku sudah berair. Aku selalu merasa sakit ketika diperlakukan kasar oleh seseorang. Tapi hati ini tetap mencoba menerima keadaan tanpa mau membalas perlakuan kasar Ibu.
"Jawab pertanyaan saya!" pekik Ibu.
Aku mengangkat kepala, dan menatap wajah Ibu. Kutenarik napas lebih dahulu sebelum berbicara. "Shasa harus pertimbangkan semuanya dulu, Bu. Shasa harus meminta petunjuk dari Allah. Shasa tidak mau nanti salah dalam mengambil keputusan."
Ibu kembali menyilangkan kedua tangannya. Ibu tersenyum miring ke arahku. "Pertimbangkan apalagi, sih? Ramdan itu orang kaya, banyak duit, udah punya rumah dan mobil sendiri. Apa kamu cari laki-laki miskin, iya? Yang nggak punya apa-apa? Mau kamu hidup susah terus?" sentak Ibu.
Aku menggelengkan kepala lemah, kemudian aku berkata, "Bukan tentang harta, Bu, ataupun jabatan yang tinggi. Shasa memang ingin hidup bahagia. Tapi bukan hanya di dunia saja, melainkan di akhirat juga. Shasa tak memandang laki-laki itu dari fisik ataupun hartanya, Bu. Yang terpenting untuk Shasa itu adalah akhlah, ketaatan serta kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya."
"Sekalipun dia laki-laki miskin?" tanya Ibu dengan sorot mata tajam yang menatapku.
Aku menatap mata Ibu. "Ibu ... Ayah bukanlah seorang yang kaya, dan beliau bukan pengusaha. Ayah hanya seorang supir pribadi. Kenapa Ibu mau dengan Ayah? Maaf Ibu, Shasa lancang." Ibu hanya terdiam, beliau tidak berbicara.
Aku menunduk, diriku tak mengerti kenapa Ibu tega bertanya seperti itu. Kutarik napas panjang dan membuangnya secara perlahan. "Nggak ada yang miskin, Ibu. Menikah itu adalah pembuka pintu rezeki. Menikah dengan seorang laki-laki yang tak memiliki jabatan apapun tetapi dia memiliki keimanan terhadap Allah, itu tidak akan menjadikan hidup Shasa terasa miskin. Justru Shasa akan merasa miskin, ketika Shasa menikah dengan lelaki yang kaya dan memiliki jabatan tetapi di hatinya tak ada sedikit keimanan terhadap Allah. Shasa yakin, menikah dengan seorang lelaki yang beriman dan taat kepada Allah akan jauh lebih bahagia daripada dengan lelaki yang hanya memiliki harta saja," sambungku kembali.
"Dan kamu berpikiran jika Ramdan itu tak punya iman begitu?" balas Ibu dengan nada ketus.
Aku mengangkat kepala, kemudian aku menggelengkan kepala berulang kali. "Bukan begitu, Bu."
Sebelah alis Ibu terangkat. "Lalu?"
"Shasa yakin Kak Ramdan itu juga lelaki yang salih, kok." Aku menjeda ucapan, dan kembali menundukkan kepala. Dadaku terasa berdebar mengingat perkataan Ramdan tadi. Aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Dari hati yang paling dalam, ada rasa senang dan ingin menerima lamaran itu. Namun, aku juga harus memikirkannya matang-matang dan tidak ingin mengikuti hawa nafsunya semata.