Assalamualaikum, Ustadz

Adella Kusuma
Chapter #9

Assalamualaikum, Ustadz 08

Aku mengangkat kepalaku dan melihat ke arah Ustaz Aan. Tawa kecil keluar dari bibirku ketika aku mendengar Ustaz Aan mengadu kesal karena celana putihnya terkena cipratan air hujan yang ia injak.

Ustaz Aan menoleh ke arahku, dan saat itu juga aku segera menghentikan tawaku. Aku segera menundukkan kepala.

"Dek Shasa, ngetawain saya, ya? Jangan ditertawakan," kata Ustaz Aan.

Aku mengangguk paham sembari menahan tawa. Aku melirik sekilas ke arahnya. "Hati-hati, Ustaz Aan," ucapku pada lelaki yang tengah menaiki sepeda gayuhnya.

"Na'am, syukron." Ustaz Aan menjawab dengan suara sedikit ditinggikan. Kulihat Ustadz Aan mulai mengayuh sepeda keluar halaman rumah ini.

Sudut bibirku kembali terangkat, dan kepalaku menggeleng kecil. Kualihkan pandangan, kini aku menatap langit yang sudah mulai menggelap. Tak ada bintang di atas sana, bulan pun tak menampakkan dirinya. Hanya awan mendung yang terlihat masih menggumpal di atas sana.

"Semoga nanti tidak hujan," gumamku.

Mata indahku melirik ke arah arloji yang melekat pada pergelangan tangan kananku. Jam sudah menunjukkan pukul delapan belas lebih tiga puluh lima menit, itu artinya beberapa menit lagi azan Isya akan segera berkumandang.

Kuputuskan untuk masuk ke dalam rumah dan bersiap untuk ikut salat Isya berjamaah di masjid.

***

Aku berlari kecil ketika sedikit demi sedikit air di langit sana turun. Untuk sampai di rumah, sekitar 20 langkah lagi. Aku sedikit mempercepat langkahku agar aku tak kehujanan, tapi nyatanya air di atas sana turun semakin banyak. Dan berhasil membuat pakaian yang aku kenakan sedikit basah.

"Alhamdulillah sampai," ucapku ketika aku sudah berada di teras rumah. Dingin. Itu yang aku rasakan sekarang. Tubuhku begitu sensitif ketika terkena air hujan.

"Hatcim." Aku mengusap hidungku berulang kali. Tidak ingin berlama-lama dengan pakaian basah ini aku segera membuka pintu rumah.

"Assalamualaikum," salamku ketika masuk ke dalam rumah.

"Waalaikumsallam," jawab Ibu yang sedang duduk sembari melihat televisi. Aku mendekat ke arah Ibu dan mengambil tangan beliau untuk kucium.

"Saya lapar, belikan saya bakso," tutur Ibu tanpa melihat aku.

Aku terdiam. Sekarang sedang hujan, dan yang menjual bakso sedikit jauh dari rumah, bagaimana mungkin aku akan pergi?

"Kenapa diam? Tidak dengar saya bicara apa?" kata Ibu membuyarkan lamunanku.

"Tapi Ibu—" Belum sempat kuselesaikan upacanku, Ibu sudah lebih dulu memotongnya.

"Diam kamu! Cepat belikan saya bakso!" titah Ibu dengan membentak.

Tak ada pilihan lain sekarang. Aku harus keluar dan membelikan makanan untuk Ibu. "Iya, Bu, Shasa belikan. Tapi Shasa mau ganti baju sebentar." Aku berkata dan mendapat deheman dari Ibu. Setelah itu aku segera berjalan ke kamarku.

"Hatcim." Aku kembali bersin. Hidungku terasa sangat gatal.

Kuambil obat di dalam laci meja serta sebotol air mineral. Obat berukuran kecil itu aku masukkan ke dalam mulut dan segera aku larutkan dengan air mineral dalam botol. Setelah itu baru aku mengganti pakaian.

Sekitar lima menit lebih aku bersiap dengan pakaian bersihku. Tidak ingin membuat Ibu marah karena aku terlalu lama mengganti pakaian, aku segera keluar dari kamar.

"Bu," panggilku pada Ibu yang sedang fokus menonton acara televisi. Ibu menoleh tanpa mengucapkan apapun padaku.

"Uang untuk membeli baksonya?" Aku merendahkan suaraku, aku takut Ibu akan marah-marah setelah mendengar ini.

Terlihat Ibu memijit kepalanya. Beliau berdecak, kemudian meraih dompet merah marun di atas meja. Dikeluarkannya uang dua puluh ribu dari sana, lalu beliau berikan padaku.

"Nggak pakai lama, ngerti?" kata Ibu penuh dengan penekanan. Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawabannya.

"Shasa pergi dulu, assalamualaikum." Kusalami tangan Ibu, barulah aku berjalan keluar rumah.

Hujan turun tidak terlalu deras. Kuembuskan napas berat. Payung merah yang setia menempel di dinding depan rumah itu aku ambil dan akan aku gunakan untuk sampai di tempat tujuan.

Jika saja ada motor di rumah, maka aku akan memilih menaiki motor daripada harus berjalan kaki sambil kehujanan. Tapi apalah daya, motor Ayah dan Kak Marco tidak ada di rumah.

"Bismillah," ucapku yang kemudian berjalan di bawah hujan dengan payung merah yang melindungiku dari atas.

Jalanan kampung yang aku lalui sedikit becek dan licin. Jadi aku harus berhati-hati saat berjalan. Aku berucap syukur ketika hujan semakin lama semakin reda. Aku berharap hujan tak akan turun lagi sampai aku kembali ke rumah nanti.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya aku sampai di tempat warung bakso. Aku menatap sekitar. Walaupun malam-malam hujan seperti ini, pembeli di warung ini cukup banyak juga.

"Bang, baksonya dua bungkus, ya," ucapku pada penjual bakso.

Lihat selengkapnya