Assalamualaikum, Ustadz

Adella Kusuma
Chapter #10

Assalamualaikum, Ustadz 09

Sinar mentari itu menerobos masuk ketika aku membuka tirai jendela. Malam telah berganti pagi. Dan hujan semalam sudah berhenti. Suara burung bersiul-siul memenuhi indra pendengaran. Pagi ini terlihat sangat cerah.

Aku berulang kali menggerakkan tubuhku yang terasa pegal, terutama pada bagian pundakku. Tubuhku terasa lemas dan seperti malas beraktifitas. Perutku ini juga terasa kembung, membuat aku berulangkali bersendawa.

"Bismillah," ucapku yang kemudian berjalan keluar kamar sembari menenteng tas berwarna abu.

Kaki ini terus melangkah pelan hingga keluar rumah. Senyumku melebar kala aku melihat Ayah tengah membaca koran sembari meminum teh.

"Assalamualaikum, Ayah." Laki-laki dengan kaca mata yang bertengger di hidungnya itu menoleh ke arahku. Beliau melipat koran yang sedang dibaca dan meletakkannya di atas meja.

Ayah tersenyum ke arahku. "Sudah mau berangkat?" tanya Ayah yang kemudian aku beri anggukan kepala.

Ayah ikut mengangguk. Kulihat beliau kini tengah mengangkat cangkir bening di atas meja yang berisikan teh panas. Kepulan asap itu menguap ketika Ayah meniupnya. Ayah meminumnya perlahan-lahan.

"Shasa pamit dulu, ya, Yah," ucapku dengan pandangan terus menatap Ayah.

Ayah kembali meletakkan cangkir teh di atas meja. "Mau Ayah antar?"

Aku menoleh ke arah motor tua milik Ayah. Ingin sekali aku diantar oleh beliau, menaiki motor dan berkeliling Kota Bandung bersama. Aku rindu semua itu.

"Tidak usah, Ayah. Nanti Ayah capek. Shasa bisa kok berangkat sendiri," jawabku pada akhirnya. Aku tidak ingin merepotkan dan membuat Ayah semakin lelah lagi.

"Tidak apa untuk yang terkahir kalinya." Ayah terkekeh setelah mengucapkan kalimatnya. "Sebelum putri Ayah dibawa oleh suaminya," lanjut Ayah.

Aku menatap netra Ayah lekat. Terlihat ada kesedihan di sana. Mata beliau berkaca. Aku yakin Ayah juga belum rela melepaskan putrinya ini. Jika Ayah, tahu ... aku belum siap untuk menikah Ayah. Ayah kenapa Ayah tidak bertanya lebih dulu kepadaku.

"Ayah ...." Ayah menyembunyikan sedihnya dengan tawa yang ia buat-buat.

Aku tertunduk, mata ini mulai terasa panas, dadaku terasa sesak.

"Kamu sudah siapkan jawaban untuk besok?" tanya Ayah setelah menghentikan tawanya.

"Ayah ... sebetulnya Shasa belum siap untuk menikah. Hati Shasa masih belum yakin, Ayah."

Ayah berdiri dari duduknya. Kemudian beliau memegangi kedua pundakku. Saat itu juga aku ingin menangis. Sebuah dekapan hangat yang selalu aku rindukan, kini kembali aku rasakan.

Ada rasa haru, ketika Ayah mencium kepalaku berulah kali. Tangan kekar Ayah itu berulang kali mengusap kepalaku.

"Ayah nanti harus ngantar Pak Jordan keluar kota. Baru pulang besok siang," kata Ayah.

Aku mengangguk paham. Ayah hanyalah seorang supir pribadi di keluarga Pak Jordan. Jadi Ayah harus lakukan walau ia sedang sakit sekalipun. Yang masih belum aku mengerti sekarang adalah kenapa Ramdan mau melamar anak supir pribadi keluarganya? Aku merasa tidak pantas untuk laki-laki seperti dirinya.

"Nak," panggil Ayah yang membuat lamunanku terbuyar.

Netra ini menatap damai ke arah Ayah. "Terima saja lamarannya."

***

Aku mengunyah nasi di dalam mulut dengan lambat. Nafsu makan terasa hilang karena perutku yang sudah terasa penuh. Padahal baru saja sekitar lima sendok nasi yang aku makan. Tangan kananku yang tadinya memegangi sendok kini berganti menjadi menumpu kepala yang sedikit pusing.

Kedua pundakku masih terasa pegal, walau tadi sudah diolesi minyak. Panas tubuhku sedikit hangat dari biasanya. Sudah aku pastikan ini pasti akibat kehujanan kemarin malam dan tadi sore sepulang kuliah.

"Huh." Aku membuang napas berat. Ingin sekali aku berhenti makan, tapi nasi di piring itu terlihat masih utuh. Padahal tidak banyak mengambil nasinya. Satu sendok berisikan nasi itu kembali kupaksa masuk ke dalam mulut.

Sedetik setelah nasi itu tertelan, aku segera lari menuju wastafel. Kusingkapkan niqab ke atas.

"Huek." Aku berusaha mengeluarkan isi perutku hingga tubuhku terasa lemas. Tangan kiriku aku gunakan untuk memegangi perut yang masih saja terasa mual. Sedangkan tangan kanan, membasuh mulut dengan air kran yang mengalir.

"Lo hamil?" Suara dari arah belakang membuat aku segera mematikan kran dan membalikkan tubuh 180 derajat. Aku mengatur napasku sambil memegangi perut.

Lihat selengkapnya