Aku mengompres pipi serta sudut bibir yang terluka akibat tamparan dari Ayah. Terasa begitu perih saat air hangat ini menyentuh luka sobekan di sudut bibir.
"Shh ...." Perlahan aku menjauhkan kain basah itu dari wajah, meletakkannya ke baskom berisikan air hangat. Kutatap wajah di pantulan cermin. Mata sembab, pipi lebam terlihat jelas di wajahku.
"Kenapa Kak Marco tega menuduhku seperti itu?" Aku bermonolog seorang diri, hati ini masih tidak percaya dengan semua yang terjadi tadi.
Tanpa diminta, kristal bening dari dalam mataku kembali turun secara perlahan. Membasahi pipi yang lebam dan mengenai luka di sudut bibirku. Perih. Tapi tidak seperih hatiku saat mendengar semua pernyataan tadi. Pernyataan yang tidak pernah aku inginkan terjadi dalam hidup. Sebuah tuduhan yang tidak pernah aku sangka akan aku dapatkan.
"Ya Allah, apa yang sedang engkau rencanakan?" Suaraku bergetar, menahan isak tangis yang ingin keluar.
Aku percaya, apapun yang terjadi dalam hidup ini sudah Allah rencanakan dan atur sedemikian rupa. Apapun yang terjadi pasti akan ada pembelajaran di dalamnya. Tapi mengapa Allah membuat skenario takdirku terasa begitu menyakitkan?
Lamunanku terbuyar ketika benda pipih yang ada di atas meja rias ini bergetar. Menampilkan nama seseorang yang baru-baru ini muncul di hidupku. Aku hanya meliriknya sekilas, terasa enggan untuk mengangkatnya.
Dadaku masih terasa sesak. Dan aku masih ingin sendiri, tidak diganggu oleh siapapun. Benda itu berhenti bergetar, dan layar ponsel yang tadi menyala menjadi mati. Aku tidak peduli.
Air mata ini terus mengalir. Aku benar-benar tidak memedulikan mata yang sudah membengkak. Aku tahu jika ini terlalu berlebihan. Walaupun semua tadi sudah menjadi kenangan, hati ini masih sakit teringat semuanya. Aku memang cengeng, hatiku mudah sekali tersinggung dan tersakiti.
Dret ... dret ... dret ...
Benda pipih itu kembali bergetar. Dengan terpaksa dan air mata yang masih mengalir aku mengambil benda itu, melihat nama penelepon di layar ponsel.
Penelepon yang berbeda dengan tadi. Nama seseorang yang tidak pernah aku hubungi lagi selama dua tahun itu berhasil membuat debaran di dadaku. Perlahan tangisku mulai berhenti akibat keterkejutan karena melihat nama yang tertera di layar ponsel.
Aku mengusap pipiku dan mulai mengatur napas. Aku pikir ini ada yang penting. Hingga nama yang tidak pernah lagi aku hubungi itu muncul di layar ponsel. Baru saja akan aku geser tombol berwarna hijau itu, tapi sudah dulu teleponnya mati.
Aku menggigit bibir bawahku gugup. Entah kenapa rasa sesakku berubah menjadi debaran yang tidak biasa aku rasakan. Dengan ragu aku menghubungi kembali nomor itu.
Tidak menunggu waktu lama telepon itu tersambung. Dan buru-buru aku menempelkan benda pipih ini di telinga.
“As-assalamu'allaikum, Ustaz,” salamku terlebih dahulu.
“Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabarakatuh. Ini benar nomor Alishaba?” Suara serak itu terdengar jelas di telingaku.
“Na’am, Ustaz. Maaf, ada perlu apa, ya?” Suaraku lirih dengan sesekali sesenggukan.
“Maaf mengganggu waktu kamu, saya mau tanya alamat rumah Ustazah Ranum, apa kamu tahu?” tanyanya dari seberang telepon. Aku berpikir sejenak dan dengan reflek kepalaku mengangguk.
“Iya, Ustaz, nanti Shasa kirim pesan alamat rumah Ustazah Ranum,” jawabku yang kemudian diberi persetujuan olehnya. Dan setelah itu keheningan yang terjadi. Ponsel ini perlahan aku jauhkan dari telinga, melihat layar ponsel untuk memastikan jika sambungan masih terhubung.