Assalamualaikum, Ustadz

Adella Kusuma
Chapter #14

Assalamualaikum, Ustadz 13


"Shasa ada masalah, ya?” Aku menoleh ke arah Salwa. Wajah gadis itu terlihat begitu cemas.

“Aku nggak apa-apa, kok. Aku turun dulu, ya?” Salwa menganggukkan kepalanya. Dan setelah itu aku segera turun dari mobil Salwa.

Kaki dengan sepatu putih ini melangkah masuk ke dalam sebuah restoran mewah. Bukan untuk makan aku datang ke mari, melainkan untuk bertemu dengan pemiliknya.

“Selamat pagi. Bisa saya bertemu dengan Pak Ramdan?” tanyaku pada pelayan yang bertugas di bagian resepsionis.

Wanita dengan berat make up tebal itu tersenyum ke arahku. “Selamat pagi juga. Ada perlu apa, ya dengan Bapak Ramdan?” tanyanya dengan senyum yang tidak pudar.

Aku membuang napas berat. “Ada hal penting yang harus saya bicarakan. Ini masalah pribadi,” jawabku yang kemudian diberi anggukan kepala oleh pelayan itu.

“Atas nama siapa, ya?”

“Alishaba.” Aku menjawab dengan singkat.

Pelayan itu kembali menganggukkan kepalanya. Senyumnya tidak pernah luntur dari wajah.

“Silahkan tunggu di sana ya, Kak,” katanya sembari menunjuk ke arah sofa yang tidak jauh dari resepsionis.

“Baik, terima kasih.” Aku segera berjalan ke arah sofa yang ia tunjuk tadi.

Bismillah.” Aku mendudukkan diriku di sofa empuk ini. Duduk sendiri sembari menunggu Ramdan datang. Aku berharap laki-laki itu mau menemui aku.

Sembari menunggu laki-laki itu aku melihat ke arah sekeliling restoran yang aku tahu ini adalah miliknya. Ramai. Meskipun hari terbilang masih pagi, restoran ini sudah banyak yang mengunjungi.

“Ngapain lo ke sini? Mau minta gue nikahin lo gitu?” Suara berat milik laki-laki yang kemarin sore datang ke rumah itu terdengar di telingaku. Spontan aku menoleh dan menatapnya. Tapi buru-buru aku menundukkan kepalaku.

“Bukan,” jawabku yang kemudian berdiri dari duduk.

“Terus mau apa lo kemari?”

“Jangan pecat Ayah, saya mohon.” Suaraku melirih. Rasa sesak kembali menyerang dada ketika teringat penyebab Ayah kehilangan pekerjaannya karena diriku.

Ramdan tertawa kecil. “Jangan harap,” jawab Ramdan singkat.

“Saya mohon. Ayah nggak salah apa-apa,” kataku dengan air mata yang perlahan turun.

“Gue nggak mau, punya karyawan yang anaknya tukang zina.” Ramdan meninggikan suaranya. Ia juga mengatakan kalimat tadi dengan penuh penekanan.

Tanpa aku menoleh ke sekeliling restoran, aku yakin banyak pasang mata yang menatap ke arah kami—aku dan Ramdan—sekarang.

Aku beranikan diri untuk mendongak, melihat wajah Ramdan. “Saya tidak seperti apa yang Anda katakan. Kamu boleh menghina saya tapi jangan Ayah saya. Saya mohon, jangan pecat Ayah.”

Lihat selengkapnya