Di kursi tunggu depan ICU ini aku berada. Duduk seorang diri dengan mushaf di tanganku. Membaca ayat-ayat-Nya mampu membuat hati yang gelisah, galau menjadi tenang.
Aku tutup mushaf ini, kemudian pandanganku melihat ke sekeliling. Tampak sepi. Tante Hani dan suaminya pamit pulang dahulu semenjak satu jam yang lalu, sedangkan Ibu dan Kak Marco aku tidak tahu mereka pergi ke mana.
“Kuatkanlah hatiku ya Allah, sesungguhnya rencana-Mu jauh lebih indah,” gumamku menyemangati diri sendiri.
Pandanganku beralih menatap pintu ICU yang masih tertutup. Dokter dan perawat belum mengizinkan salah seorang dari kami menjenguk Ayah. Aku sudah rindu dengan wajah lelah beliau. Walau Ayah begitu berbeda dengan dulu, aku tetap menyayangi beliau tanpa kurang sedikit pun.
Nada dering telepon terdengar dari dalam tasku. Dengan segera aku mengambil benda pipih itu. Orang tidak dikenal lagi meneleponku.
“Siapa?” jawabku malas.
“Assalamualaikum, Sha. Gimana keadaan Ayah?” Mendengar suara dari seberang sana aku sedikit terkejut.
“Waalaikumsallam, Ustaz. Afwan tidak salam. Belum tahu, dokter belum mengizinkan menjenguk Ayah. Doakan yang terbaik untuk Ayah, Ustaz,” kataku sembari menatap pintu ICU. Aku sangat berharap ada seorang dokter atau perawat keluar dari dalam sana dan mengizinkan aku untuk bertemu Ayah.
“Aamiin ya Rabb. Maaf saya nggak bisa ikut menunggu Ayah, sedang ada urusan. Semoga semua selalu dalam lindungan Allah. Assalamu'alaikum.”
Aku tersenyum tipis. “Ustaz Aan, terima kasih banyak, ya. Semoga Allah membalas segala kebaikan, Ustaz. Wa'alaikumsallam.”
“Aamiin, syukron, Dek.” Setelah mendengar jawaban dari Ustaz Aan, aku segera mematikan sambungannya.
Mataku menatap ke arah ponsel. Senyum tipis terbit di wajahku. Walaupun kemarin Ibu pernah melukai hatinya ia tetap masih mau berbuat baik kepada keluargaku.
“Semoga Allah membalas kebaikan-kebaikanmu, Ustaz. Ustaz ... pantas mendapatkan seorang perempuan yang lebih baik dari aku,” ujarku sembari tersenyum.
Baru saja aku akan kembali meletakkan benda tipis ini ke dalam tas. Tapi lagi-lagi suara nada dering telepon berbunyi. Dengan segera aku melihat ke arah layar ponsel. Tanpa pikir panjang aku menggeser tombol hijau ke atas dan menempelkan ponsel di telinga.
“Assalamu'alaikum,” salamku lebih dahulu.
Seseorang di seberang telepon sana berteriak-teriak memanggil namaku. Dengan spontan aku menjauhkan ponsel dari telinga.
“Tidak usah teriak, aku masih dengar, kok,” ujarku sembari menempelkan kembali ponsel ke telinga.