Setelah Ibu berlalu pergi untuk membayar biaya administrasi, aku memutuskan untuk kembali duduk pada kursi tungggu. Kepalaku menoleh ke arah pintu ICU. Harap-harap cemas memenuhi rongga dada.
"Ayah ... sembuh, ya. Ayah, harus segera sadar," ujarku dengan lirih. Tanpa aku minta air mata perlahan kembali menetes. Aku segera menyeka air mata itu, dan menyemangati diri sendiri agar tetap kuat di dalam keadaan apa pun.
"Assalamualikum, Sayang." Salam dari suara lembut itu membuat aku dengan spontan menoleh ke arah sumber suara.
Aku kembali mengusap mata. "Waalaikumsallam, Ummi," jawabku yang tak lama setelah itu berdiri dari duduk dan menyalami tangan Tante Hani. "Ummi, kok, cepat ke sininya. Ummi istirahat aja di rumah. Ummi datang kemari sendiri, ya?" Aku menengok ke belakang Tante Hani untuk mencari salah satu keluarga Tante Hani, tapi nyatanya tidak aku temukan siapapun.
Tante Hani mengelus lengan tanganku seraya mengukir senyum di wajahnya. Beliau menggeleng. "Tidak, Sayang. Ummi ke sini sama Sarah, dia tadi baru ke toilet sebentar. Oh, iya, ini Ummi bawakan masakana untuk kamu, kamu pasti belum makan 'kan?" tutur Tante Hani dengan suaranya yang begitu lembut.
"Terima kasih, Ummi. Shasa jadi ngrepotin Ummi." Aku merasa senang saat Tante Hani mengatakan jika ia datang bersama dengan Sarah. Aku sedikit tersenyum dari balik niqab.
"Assalamualaikum." Suara dari arah belakang Tante Hani itu membuat aku mengalihkan pandangan. Tante Hani pun ikut menoleh.
"Waalaikumsallam," jawab aku dan Tante Hani secara bersamaan.
"Sarah," panggilku sewaktu melihat Sarah. Sarah mendekati aku, kemudian ia memeluk aku dengan erat. Keningku berkerut saat merasakan tubuh Sarah bergetar.
Perlahan aku menjauhkan tubuh sarah—melepaskan pelukannya. "Sarah, kenapa kamu menangis?" tanyaku dengan sedikit berkaca-kaca.