Selesai makan, aku langsung kembali menuju ruang ICU bersama Tante Hani dan Sarah. Aku memandang ke sekeliling mencari Ibu ataupun Kak Marco. Namun, tak aku dapati salah satu di antaranya.
Kaki ini kemudian melangkah mendekat ke arah pintu ICU yang terlihat sedikit terbuka. Dari kaca pintu ICU aku melihat Ibu di dalam. Ayah sudah sadar? batinku penuh harapan. Mataku memanas, air mata luruh membasahi pipi.
Pintu itu kudorong agar lebih lebar. Aku pun melangkah masuk. "Shasa, kenapa?" Itu pertanyaan yang dilemparkan Tante Hani untukku. Namun, tak aku sahuti. Bertemu Ayah adalah yang terpenting untukku saat ini.
"Ibu?" Panggilku. Yang aku panggil pun menoleh. Beliau menangis? Keningku berkerut. Kenapa Ibu menangis? Pandangan ini pun beralih ke arah ranjang. Terlihat Ayah masih terbaring dengan mata terpejam. Di sekelilingnya pun ada dokter dan beberapa suster.
"Apa yang terjadi?" Langkahku yang masih beberapa langkah dari semua orang di sana terhenti. Tubuh ini bergetar hebat. Aku menyangkal segala pikiran buruk yang hadir. Air mata haru berubah menjadi air mata ketakutan. Ayah yang masih terpejam aku pandangi terus-menerus.
"Ini semua gara-gara kamu!" Aku tidak menyadari sejak kapan Ibu mendekatiku. "Karena kebodohanmu, ayahmu jadi seperti ini. Dasar anak tidak berguna!" Ibu memaki diriku tanpa peduli dengan sekitar.
Aku mematung di tempat. Allah tolong jelaskan apa yang sedang terjadi? Dan aku mohon ya Allah, semua yang aku pikirkan ini tidaklah benar. Batin ini terus merampal doa penuh harapan.
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Mohon maaf, kami harus menyampaikan kabar buruk. Bapak Handoyo Abimanyu telah meninggal pada pukul 20.19 WIB.
Dari balik niqab, mulutku menganga lebar. Kepalaku menggeleng. "Pasti dokter salah," kataku yang kemudian berlari mendekati ranjang Ayah.
"Ayah bangun." Air mataku turun semakin deras. "Ayah hanya belum sadarkan? Ayah bangun Ayah! Shasa rindu Ayah." Tubuh yang terbaring kaku di atas ranjang ini aku dekap dengan erat. Aku menangis sejadi-jadinya.
"Pergi kamu dari mayat suami saya!" bentak Ibu sembari menarik tubuhku. Namun, sebisa mungkin aku menahan diri untuk tetap memeluk tubuh Ayah.
"Ayah bangun," ujarku disela isak tangis.
"Shasa?" Aku mendengar suara Tante Hani dan Sarah bersamaan. Tapi aku tidak sedang ingin memedulikan mereka saat ini. Sampai pada akhirnya aku merasakan ada seseorang yang mengelus punggungku.
"Nak, sabar Sayang." Mendengar perkataan Tante Hani tangisku semakin menjadi.