Di tempat suci ini aku sekarang, di dalam masjid dengan nuansa putih.
Seusai menunaikan salat, aku tak hentinya merampalkan doa agar Allah segera membuktikan kebenaran dari tuduhan yang diberikan kepadaku, serta memohon agar Allah memberikan kemudahan dalam aku mencari solusi dari setiap permasalahan yang sedang dan akan aku hadapi.
Aku hanya memiliki Allah saat ini, Dzat tempatku untuk berlindung dan memohon pertolongan-Nya. "Ya Allah, harus ke mana aku pergi? Apa aku harus merepotkan kembali keluarga Tante Hani?" Pikiranku nyalang, aku tidak tahu harus pergi ke mana.
"Ya Allah beri aku petunjuk. Kumohon mudahkanlah urusanku." Air mata yang kembali mengalir aku usap dengan punggung tangan. Tarikan napas panjang aku ambil dalam-dalam dan membuangmu secara perlahan. Aku harus menenangkan diri, agar bisa berpikir dan menemukan jalan keluar.
"Ya Allah, kuatkan hatiku!" ujarku sembari mencoba tersenyum. "Shasa kamu harus kuat! Bismillah bisa, Sha!" Kalimat itu yang selalu aku ulang berulang kali guna menyemangati dan menguatkan diri sendiri. Sesedih apapun hidupku, aku tidak boleh terus terpuruk. Diri ini harus bangkit dan harus kuat. Keyakinan pada diri ini tertumpu penuh pada Allah yang pastinya akan memberikan jalan keluar bagi setiap ujian hamba-Nya.
"Astaghfirullahalazim." Dengan suara lembut lantunan istighfar aku lantunkan berulang kali. Sepotong kalimat ini benar-benar dapat menenangkan diri, tak lupa dengan selawat Nabi. Perlahan, hatiku mulai tenang. Memang benar, hati manusia akan tenang jika mengingat pemilik hatinya.
"Shasa." Seseorang memanggil namaku, sepertinya aku tidak asing dengan pemilik suara. "Alishaba, ya?" Saat aku menoleh, sudah kudapati seorang perempuan muda dengan jilbab dan gamis berwarna senada.
"Salwa." Dia menatapku tak biasa. Ekor matanya yang menoleh ke arah dua tas di sampingku. Dengan kerutan di dahinya, tergambar jelas ia terkejut dan memiliki banyak pertanyaan. Salwa lebih mendekat, kemudian duduk di sampingku.
"Ini tas kamu?" Pertanyaannya memastikan dan hanya anggukan kepala yang aku berikan sebagai jawabannya. "Kamu mau ke mana, Sha? Bawa tas besar gini? Kenapa kamu dari kemarin tidak ada kabarnya, Sha?" Salwa kembali bertanya. Mata yang sendari tadi aku perhatikan meneliti dua tas itu, kini beralih menatap diriku. Kami saling menatap satu sama lain. Namun, tidak lama kemudian aku menunduk untuk menghindari tatapan Salwa. Aku hanya tidak ingin Salwa melihat mataku yang sembab dan memerah karena terlalu lama menangis.
"Kamu lagi ada masalah, Sha?" Dari pertanyaan itu, aku memilih diam. "Sha, ada apa? Kenapa kamu nggak cerita? Kenapa kamu diem aja? Kamu mau pergi ke mana, Sha?" Salwa mengguncang-guncang tanganku. Dia begitu memaksaku untuk menjawab banyak pertanyaannya. "Jawab aku, Sha?" Setelah kalimat itu, aku kembali merasakan dekapan hangat. Salwa memelukku dengan sangat erat. Air mata yang tadi aku tahan akhirnya lolos kembali. Ya Allah, rupanya masih ada orang yang peduli dengan aku. Maafkan aku, telah berburuk sangka kepada Engkau.
Dengan segera aku mengusap mata, menghilangkan genangan air yang akan kembali turun dan membahasi niqabku. Aku harus kuat. Aku dan Salwa belum lama saling mengenal, tetapi dia sudah banyak membantuku dalam berbagai hal. Rasanya seperti aku telah mengenal dan berteman dengan dia sejak lama. Dia benar-benar teman yang baik, aku jadi sungkan untuk bercerita kembali padanya. Karena diriku hanya akan menjadi beban dan merepotkan Salwa.
"Sha, jawab aku! Jangan diam!"