Walaupun hari sudah semakin malah, tetapi pengunjung masjid masih terlihat banyak. Ada beberapa orang yang baru saja turun dari kendaraan dan berjalan ke arah masjid. Senyumku tertarik ke atas, kala mengingat kenangan semasa di pondok dulu. Begitu banyak kegiatan, hingga pukul sepuluh malam pun kami masih harus memenuhi masjid. Kehidupan kala itu ... aku merindukannya. Ada sesuatu yang hilang setelah aku keluar dari pondok, yaitu tentang waktu-waktu yang dihabiskan untuk menuntut ilmu dan ibadah. Mungkin inikah kehidupan sebenarnya. Kehidupan diluar pondok yang tidak pernah aku tahu betapa mengerikannya.
"Hei, kok bengong?" Aku terkejut, padahal Salwa sama sekali tidak mengagetiku, hanya saja aku yang sendari tadi terlalu asyik melamun. "Kamu pasti banyak pikiran, ya?"
"Em ... enggak, kok. Aku cuma keingat sewaktu di pondok saja, karena dulu kami harus menghabiskan waktu di masjid sampai pukul sepuluh malam," terangku mengatakan apa yang tadi sudah aku pikirkan dan bayangkan. Salwa manggut-manggut. Baru aku menyadari jika kini kami telah sampai di dekat mobil.
Salwa membuka pintu tengah. "Ayo masuk dulu. Biar aku yang taruh barang kamu di bagasi." Dia berujar sambil mendorongku pelan untuk masuk ke dalam mobil, dan aku menurut saja. Usai pintu mobil di tutup, Salwa memasukkan barangku ke bagasi mobil.
Kepalaku menoleh, melihat Salwa yang sedang memasukkan barang. "Makasih banyak." Kalimatku itu dijawab dengan acungan jempol oleh Salwa. Saat Salwa sudah menutup pintu bagasi, aku beralih menatap ke depan—menunggu Salwa masuk ke dalam mobil. Ya, Allah balaslah kebaikan orang-orang yang sudah membantu dan menolongku, gumamku dalam hati.
Dak!
Suara pintu yang baru saja ditutup itu membuat diriku terkejut. Ah, rupanya aku terlalu banyak melamun, hingga hal-hal kecil pun membuat aku jadi terkejut. Ekor mataku menatap ke arah sumber suara. Lagi dan lagi aku kembali terkejut. Kali ini bukan karena melamun, melainkan karena melihat orang yang baru saja masuk ke dalam mobil. Bukan Salwa, tetapi orang lain. Mata ini membulat sempurna, seolah tak percaya dengan apa yang dilihat. Di kursi kemudi itu, aku melihatnya, sosok yang selama ini selalu membuat jantungku berdebar ketika berdekatan dengannya. Aku belum lepas menatapnya, memastikan dengan benar orang yang tengah duduk di kemudi mobil. Mungkin saja aku salah.
"Ustaz Saka." Entah keberanian dari mana aku memanggilnya. Dia menoleh, rupanya aku tidak salah orang.
Beliau menyalakan lampu. "Astagfirullah, kamu ngapain di sini?" Keterkejutannya tampak begitu jelas di wajah. Pertanyaan itu membuat aku jadi gelagapan.