Orvalis. Sebuah wilayah yang sering dilupakan oleh sejarah, di mana kehidupan bergulir dalam bayang-bayang kemiskinan dan ketidakadilan. Di sinilah Dariel memulai kisahnya. Seorang anak muda yang tumbuh di antara puing-puing impian dan abu dendam.
Matahari yang memudar mewarnai langit dengan rona merah yang suram, seolah mencerminkan kehidupan rakyat Orvalis. Di kaki pegunungan tandus, desa kecil itu berdiri seperti luka terbuka di punggung dunia. Di sini, kaum tanpa sihir hidup dalam penderitaan di bawah kekuasaan kerajaan Thalvinar, sebuah kekaisaran yang dipimpin oleh penyihir-penyihir elit. Dariel, yang baru berusia 8 tahun saat itu, belum sepenuhnya memahami arti dari penindasan, tetapi ia merasakannya dalam setiap sudut kehidupan. Dari tatapan mata ibunya yang lelah hingga suara dentang peralatan tambang yang terus menghantuinya bahkan dalam tidur.
Ayah Dariel, seorang petani yang keras kepala namun penuh kasih, adalah pemimpin komunitas kecil yang diam-diam melawan penindasan kaum sihir. "Tidak semua orang dilahirkan untuk tunduk," kata ayahnya suatu malam, saat mereka duduk di dekat perapian kecil. Kata-kata itu masih terpatri dalam benak Dariel, meskipun kenangan tentang ayahnya kini hanya menjadi bayangan samar.
Malam itu adalah malam terakhir ia melihat ayahnya hidup.
Malam menyeret desa ke dalam keheningan yang tidak biasa. Hanya ada suara angin yang mendesir melewati ladang yang kosong. Dariel duduk di sudut rumah kecilnya, mendengarkan bisikan-bisikan cemas antara ayah dan ibunya.
“Mereka tahu, Rian,” suara ibunya, lirih namun penuh ketakutan. “Kita harus pergi sebelum pasukan datang.”
“Dan tinggalkan semuanya? Ladang ini, desa ini? Tidak, kita bertahan,” balas ayahnya tegas. “Jika kita lari, mereka menang. Jika kita melawan, setidaknya kita punya harga diri.”
“Harga diri tidak akan menyelamatkan nyawa kita!” sang ibu berseru, suaranya sedikit gemetar. “Pikirkan Dariel, pikirkan masa depannya.”
“Aku memikirkannya! Justru karena itu aku tidak bisa lari. Apa yang akan Dariel pelajari kalau kita menyerah begitu saja?”
Dariel, yang mendengarkan dari sudut ruangan, memeluk lututnya erat-erat. “Ayah, Ibu... apa kita akan baik-baik saja?” tanyanya dengan suara kecil.