Langit di atas Orvalis dipenuhi debu abu-abu, hampir tidak ada sinar matahari yang berhasil menembus kegelapan kota tambang ini. Orang-orang berjalan dengan kepala tertunduk, punggung mereka membungkuk karena beban kerja dan kesengsaraan. Di antara mereka ada seorang remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun, dengan tubuh kurus namun penuh otot karena kerja kerasnya. Namanya Dariel, anak yatim piatu yang sejak kecil telah belajar bahwa dunia ini tidak memberi belas kasihan kepada mereka yang lemah.
Dariel melemparkan sekopnya ke tanah berbatu, mengambil napas berat sebelum kembali menggali. Di sekelilingnya, para buruh tambang lainnya bekerja dalam diam, hanya suara denting logam dan batu yang terdengar. Namun, ketenangan itu segera dipecahkan oleh teriakan seorang pengawas.
“Kalian semua lamban seperti siput lumpuh! Cepatkan kerja kalian, atau aku akan membuat kalian menyesal lahir ke dunia ini!” Pengawas itu adalah seorang pria besar dengan jubah hitam. Di tangannya ada tongkat sihir yang berkilauan dengan cahaya biru samar.
Dariel menggerutu pelan, cukup pelan agar tidak terdengar. “Dia berbicara seperti kita ini bukan manusia. Mungkin di matanya kita memang bukan.”
Seorang pria tua di sebelahnya, yang dikenal sebagai Pak Lorran, menepuk bahunya. “Hati-hati, anak muda. Penyihir itu tidak segan-segan menggunakan sihirnya untuk menghukum siapa pun yang berbicara menentangnya.”
Dariel mendengus, tapi dia tahu Pak Lorran benar. Beberapa hari yang lalu, salah satu buruh tambang dihukum dengan sihir hingga tubuhnya terbakar hanya karena beristirahat tanpa izin. Dariel tahu bahwa dia harus bertahan hidup. Balas dendam adalah tujuan utamanya, tapi untuk itu, dia perlu hidup lebih lama.
Hari itu berakhir dengan lonceng keras yang menandakan waktu kerja selesai. Dariel menyeret tubuh lelahnya keluar dari tambang menuju barak, tempat para buruh tinggal. Di perjalanan, dia melihat sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak.
Seekor Glowrat, tikus tambang bercahaya, melintas di depan kakinya. Cahaya biru dari tubuhnya berpendar di kegelapan tambang.
“Glowrat lagi,” gumam Dariel. “Mereka makin banyak saja.”
Pak Lorran, yang berjalan di belakangnya, berhenti juga. “Monster kecil seperti itu biasanya pertanda buruk. Kalau mereka mulai keluar ke permukaan, itu artinya tambang ini tidak stabil lagi.”
Dariel mengangguk, tapi dia tahu bahwa para penyihir pengawas tidak peduli. Yang mereka pedulikan hanyalah hasil tambang, bukan keselamatan para buruh.
Saat malam tiba, Dariel duduk di ranjangnya yang keras, memandangi langit-langit kayu yang penuh retakan. Di pikirannya, dia memutar ulang memori yang selalu menghantuinya. Api yang melahap desanya, suara jeritan ibunya, dan tatapan dingin ayahnya sebelum pedang penyihir menembus tubuhnya.
“Aku akan membuat mereka membayar,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku tidak peduli berapa lama waktu yang kubutuhkan.”
Tiba-tiba, pintu barak terbuka dengan keras. Dariel menoleh, melihat seorang pria tinggi dengan jubah kusam berdiri di pintu. Matanya tajam seperti elang, dan di pinggangnya tergantung pedang panjang yang tampak sudah sering digunakan.
“Siapa di sini yang namanya Dariel?” suara pria itu terdengar dalam dan penuh otoritas.
Para buruh lain menoleh ke arah Dariel, membuatnya tidak punya pilihan selain bangkit. “Aku. Ada apa?”
Pria itu melangkah masuk, mendekati Dariel. “Namaku Kaelen. Aku butuh bicara denganmu. Sekarang.”
Dariel mengernyit. “Kenapa aku harus ikut denganmu? Aku bahkan tidak kenal kau.”
Kaelen menatapnya tajam. “Karena jika kau tidak ikut, penyihir-penyihir itu akan datang untukmu. Dan percayalah, kau tidak ingin mereka menangkapmu.”
Dariel terdiam. Dia tidak tahu apa maksud pria ini, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa pria ini bisa dipercaya... setidaknya untuk sementara.
“Baiklah,” jawab Dariel akhirnya. “Tapi jika ini jebakan, kau akan menyesal.”
Kaelen tersenyum tipis. “Aku suka keberanianmu, anak muda. Sekarang, ayo pergi sebelum mereka menyadari aku di sini.”
Mereka keluar dari barak melalui pintu belakang, berjalan cepat menuju pinggiran kota tambang. Dariel menyadari bahwa pria ini tampaknya sangat ahli dalam bergerak tanpa menarik perhatian.
“Kau ini siapa sebenarnya?” tanya Dariel setelah beberapa saat.
“Seorang prajurit yang bosan dengan kebohongan kerajaan,” jawab Kaelen singkat. “Aku sudah melihat terlalu banyak kekejaman di bawah bendera mereka. Aku memutuskan untuk berbalik melawan mereka.”
Dariel mengangkat alis. “Dan apa hubungannya dengan aku?”
Kaelen berhenti dan menatapnya. “Aku tahu siapa kau, Dariel. Anak dari pemimpin pemberontakan kecil di Orvalis. Orang-orangmu dihancurkan, tapi semangat perlawanan itu tidak mati. Kau adalah kunci untuk melawan mereka.”