Pagi berikutnya, mereka melanjutkan perjalanan. Kabut menyelimuti hutan, memberikan nuansa dingin yang meresap hingga ke tulang. Kaelen berjalan di depan, matanya terus awas terhadap bahaya.
“Jadi, apa sebenarnya rencanamu?” tanya Dariel, memecah keheningan. “Apa kau akan langsung menyerang kerajaan?”
Kaelen terkekeh. “Tidak semudah itu, Dariel. Sebelum kau bisa melawan mereka, kau butuh sekutu. Orang-orang yang juga memiliki dendam terhadap kerajaan. Dan aku tahu di mana kita bisa menemukan mereka.”
“Siapa mereka?”
“Seorang penempa dari ras Dwarf. Namanya Rovan. Dia tinggal di pegunungan Kazag-Durm. Jika ada yang bisa membuat senjata untuk melawan sihir, dia adalah orangnya.”
Dariel mengangguk, meski dia masih memiliki keraguan. “Dan kau yakin dia akan membantu kita?”
“Jika kau tahu cara berbicara dengannya,” jawab Kaelen. “Tapi sebelum itu, kita harus melewati hutan ini tanpa mati.”
Dariel mengangkat alis. “Mati? Dari apa?”
Kaelen tidak menjawab, hanya mengangkat tangan untuk memberi isyarat agar Dariel diam. Dari kejauhan, suara gemerisik terdengar semakin dekat. Kaelen meraih pedangnya, dan Dariel mempersiapkan belatinya dengan gugup.
Dari semak-semak, muncul sekelompok Sporeling, monster kecil berbentuk seperti jamur dengan kaki seperti serangga. Mereka bergerak dalam kelompok, mata merah mereka bersinar mengancam.
“Jangan biarkan mereka menyentuhmu,” bisik Kaelen. “Spora mereka bisa melumpuhkanmu.”
Dariel mengangguk, meski jantungnya berdegup kencang. Sporeling itu mulai mendekat, mengeluarkan suara aneh seperti desis.
Kaelen menyerang lebih dulu, pedangnya memotong dua Sporeling sekaligus. Dariel mencoba mengikuti, mengayunkan belatinya dengan canggung. Dia berhasil menebas salah satu Sporeling, tapi saat dia melangkah mundur, satu Sporeling melompat ke arahnya.
Dengan refleks, Kaelen memotong Sporeling itu sebelum sempat menyentuh Dariel. “Fokus, Dariel! Jangan hanya menyerang, pikirkan juga pertahananmu!”
Dariel mengangguk, berusaha lebih hati-hati. Dia memutar tubuh, menusuk Sporeling lain yang mendekat. Perlahan tapi pasti, mereka berhasil mengalahkan kelompok monster itu.
Setelah semuanya selesai, Dariel terjatuh ke tanah, terengah-engah. “Apa ini selalu terjadi di hutan ini?”
Kaelen tersenyum kecil. “Hutan ini penuh bahaya. Tapi ini adalah bagian dari pelatihanmu, Dariel. Kau harus terbiasa dengan monster jika kau ingin bertahan hidup.”
Kabut pagi mulai menipis saat Dariel dan Kaelen melangkah keluar dari hutan. Di depan mereka, jalan setapak berbatu melintasi perbukitan yang landai. Pohon-pohon besar yang sebelumnya menjadi perlindungan mereka kini digantikan oleh lanskap terbuka, di mana angin dingin menerpa tanpa ampun.
“Pegunungan Kazag-Durm ada di sana,” ujar Kaelen, menunjuk ke arah barisan gunung yang menjulang di kejauhan. Puncaknya tertutup salju, memancarkan cahaya putih yang menyilaukan di bawah sinar matahari pagi. “Itu tujuan kita.”
Dariel memicingkan mata, mencoba mengukur jarak. “Berapa lama perjalanan ini?”