Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #4

Jejak Di Kazag-Durm #4

Dariel dan Kaelen menapaki jalan terjal menuju pegunungan Kazag-Durm. Bebatuan besar berserakan di sepanjang jalur sempit, membuat perjalanan semakin sulit. Angin dingin menusuk hingga ke tulang, tetapi Dariel terus melangkah, menolak menunjukkan kelemahan di depan Kaelen.

“Sudah mulai terbiasa dengan gunung, Dariel?” tanya Kaelen, suaranya sedikit bercanda di balik keheningan yang berat.

“Aku lebih memilih tambang yang sempit daripada ini,” gumam Dariel, melirik tebing curam di sebelah kanannya. “Setidaknya di tambang, aku tidak perlu khawatir terjatuh ribuan kaki.”

Kaelen tertawa kecil. “Kazag-Durm memang terkenal ganas. Tapi di balik kekasarannya, ada kekuatan yang tak tertandingi. Kalau kita bisa meyakinkan Rovan untuk bergabung, kita punya kesempatan melawan mereka yang duduk di atas takhta itu.”

Dariel hanya mengangguk. Pikiran tentang melawan para penyihir kerajaan membuat darahnya mendidih, tetapi ia tahu itu bukan alasan cukup untuk Rovan membantunya. Ia harus membuktikan dirinya, seperti biasa.

Saat mereka akhirnya mencapai dataran sempit di depan sebuah dinding tebing besar, Dariel melihatnya. Sebuah pintu raksasa yang tertutup rapat, tersembunyi di antara bebatuan. Pintu itu terlihat seperti bagian dari gunung, dengan ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan sejarah dwarf: peperangan, kehancuran, dan kebangkitan mereka.

Kaelen melangkah maju, mengetuk pintu dengan pola tertentu. Ketukan itu menggema jauh ke dalam gua, disertai suara berat dari dalam.

“Siapa yang mengganggu pekerjaanku?” suara berat itu memecah keheningan, penuh iritasi.

“Itu aku, Kaelen. Aku membawa teman,” jawab Kaelen.

Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka perlahan, memperlihatkan seorang dwarf bertubuh kekar dengan janggut panjang yang kusut. Matanya tajam seperti elang, menilai Kaelen dan Dariel dengan cepat. Di tangannya, ia menggenggam palu besar yang tampak lebih berat dari tubuhnya sendiri.

“Kaelen,” ujar Rovan, suaranya rendah dan dalam. “Dan kau membawa manusia?”

Kaelen mengangguk. “Ini Dariel. Kami membutuhkan bantuanmu.”

Rovan mendengus, melangkah keluar dari pintu dan menatap Dariel dari kepala hingga kaki. “Manusia? Kau tahu aku tidak bekerja dengan manusia selain kau. Terlalu lemah.”

Dariel mengepalkan tinjunya, tetapi Kaelen melangkah di depannya, mencoba mendinginkan situasi. “Rovan, dengarkan aku dulu. Ini penting.”

“Penting?” Rovan memutar matanya. “Kaelen, kau tahu aku sedang sibuk menciptakan mahakarya. Aku tidak punya waktu untuk urusan anak-anak.”

Lihat selengkapnya