Dentingan senjata yang tengah diasah memenuhi bengkel kecil di Kazag-Durm. Dariel sibuk memoles claws barunya, sementara Rovan memeriksa persediaan logam yang tersisa. Kaelen duduk bersandar di dinding, wajahnya serius memikirkan langkah berikutnya.
"Kita tidak bisa terus begini," ujar Kaelen akhirnya, memecah keheningan. "Melawan kerajaan tanpa arah yang jelas akan sia-sia. Kita butuh petunjuk, sesuatu yang bisa memberi kita keunggulan."
Dariel menoleh, meletakkan claws-nya. "Apa maksudmu?"
"Ada seorang seer," jawab Kaelen. "Seorang peramal yang disebut-sebut memiliki kemampuan untuk melihat masa depan dunia. Jika kita bisa menemukannya, mungkin dia bisa memberi kita gambaran tentang apa yang akan terjadi dan bagaimana kita bisa menghadapi kerajaan."
Rovan mendengus. "Seer? Aku tidak percaya ramalan dan hal semacam itu. Kebanyakan hanya omong kosong untuk menipu orang bodoh."
"Tapi ini bukan seer biasa," tegas Kaelen. "Namanya Lyria. Dia seorang elf, diasingkan oleh kaumnya sendiri karena kekuatannya yang luar biasa. Aku mendengar rumor tentangnya saat masih menjadi prajurit kerajaan. Mereka menyebutnya 'The Exiled Seer.' Jika ada satu orang yang bisa membantu kita, itu dia."
Dariel mengangguk, meskipun ia tidak sepenuhnya yakin. "Lalu di mana kita bisa menemukannya?"
"Dia tinggal di sebuah desa elf di timur," jawab Kaelen. "Tapi untuk sampai ke sana, kita harus melewati laut. Desa itu tersembunyi di tengah hutan lebat, dan satu-satunya cara tercepat ke sana adalah dengan kapal."
Di kota pelabuhan terdekat, suasana penuh dengan kesibukan. Para pedagang berteriak menawarkan barang dagangan mereka, sementara para pelaut berlalu-lalang dengan wajah lelah. Dariel, Kaelen, dan Rovan menyusup di antara kerumunan, menyembunyikan wajah mereka dengan tudung untuk menghindari perhatian.
"Aku punya ide cemerlang," bisik Kaelen.
"Kita tidak punya uang untuk menyewa kapal," bisik Dariel.
"Itulah sebabnya kita akan mengambilnya," jawab Kaelen dengan nada datar.
Rovan menatap Kaelen dengan alis terangkat. "Merampok kapal? Itu rencana cemerlangmu?"
"Memang tidak mulia, tapi ini satu-satunya cara," kata Kaelen. "Kapal dagang di pelabuhan ini sebagian besar milik bangsawan atau pedagang yang bekerja untuk kerajaan. Mengambil satu dari mereka bukan hanya memberi kita transportasi, tapi juga menyakiti mereka sedikit. Anggap saja ini menambah reputasi kita."
Rovan menghela napas. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kalau kita ketahuan, aku akan menyalahkanmu."
Saat malam tiba, mereka bergerak menuju pelabuhan. Target mereka adalah sebuah kapal dagang besar dengan bendera kerajaan berkibar di atasnya. Kaelen memimpin, sementara Dariel dan Rovan mengikutinya dengan sikap waspada.
“Ini dia, kapal yang kubilang tadi,” ujar Kaelen, suaranya rendah tapi penuh percaya diri. Dia menunjuk kapal besar yang bersandar di dermaga. “Persediaan kerajaan. Kalau kita bisa merebutnya, ini akan jadi pukulan yang cukup keras untuk mereka.”
“Kedengarannya terlalu nekat,” gumam Rovan, melipat tangan di dadanya. “Hanya bertiga melawan satu kapal penuh awak? Kau yakin ini bukan rencana bunuh diri?”
Kaelen menoleh dengan seringai kecil. “Awak kapal itu kebanyakan pedagang, bukan prajurit. Mereka tidak akan tahu apa yang menimpa mereka sampai sudah terlambat. Lagi pula, Dariel ada di sini, bukan?”