Hutan di tepi desa elf itu begitu lebat dan memancarkan keheningan yang mencekam. Cahaya matahari hampir tidak mampu menembus rimbunnya dedaunan, membuat suasana terasa dingin dan penuh teka-teki. Setelah perjalanan panjang melintasi laut dan pertemuan pertama yang tidak terlalu bersahabat, Lyria akhirnya setuju untuk berbicara dengan mereka. Namun, seperti elf buangan pada umumnya, ia berbicara dengan hati-hati dan penuh perhitungan.
Mereka bertiga duduk mengelilingi api unggun kecil di sebuah celah hutan, sementara Lyria berdiri di pinggir, memandang mereka dengan tatapan tajam. Rovan menyilangkan tangan di dadanya, Kaelen bersandar santai pada pohon, dan Dariel menatap Lyria dengan rasa ingin tahu yang bercampur waspada.
"Aku tidak yakin apa yang kau harapkan dariku," Lyria memulai, suaranya lembut namun penuh kewaspadaan. "Ramalan itu bukan sesuatu yang pasti. Itu hanya gambaran dari kemungkinan masa depan, bukan kepastian yang akan terjadi."
Rovan, yang sejak awal terlihat skeptis, memutar mata. "Oh, hebat sekali. Jadi kau adalah peramal yang bahkan tidak bisa memastikan apa yang kau ramalkan. Mungkin kau juga bisa memberitahu kami kapan makan siang berikutnya?"
Kaelen terkekeh, meskipun berusaha menutupinya dengan batuk. Dariel menatap Rovan dengan pandangan penuh peringatan, sementara Lyria tetap tenang, meskipun jelas ia tidak terhibur.
"Aku mengerti rasa tidak percayamu, dwarf kecil," balas Lyria dengan nada tenang namun tajam. "Tapi aku tidak meminta pengakuan darimu. Aku hanya menyampaikan apa yang aku tahu."
Rovan mengangkat bahu, tampak tidak peduli. "Baiklah, lanjutkan saja. Tapi tolong jangan terlalu puitis. Aku lebih suka cerita yang langsung pada intinya."
Lyria mendesah panjang. Ia duduk perlahan di atas batu besar, tangannya menggenggam erat jubahnya yang kusam. "Dahulu, aku adalah seorang seer yang tinggal di Kalenthil, ibu kota elf. Ramalanku dihormati, bahkan ditakuti. Tapi kemudian, aku meramalkan sesuatu yang tidak ingin mereka dengar."
"Ramalan apa?" tanya Dariel, suaranya lembut namun serius.
"Bahwa kekuatan kaum sihir tidak akan bertahan selamanya," jawab Lyria, matanya berkabut oleh kenangan pahit. "Bahwa akan ada seorang pemuda dari ras manusia, tanpa sihir, yang akan mengguncang fondasi dunia ini. Pemuda itu akan menjadi awal dari akhir kekuasaan tirani kaum sihir."
Suasana di sekitar api unggun menjadi hening. Dariel menundukkan kepalanya, mencoba mencerna kata-kata itu, sementara Kaelen menatap Lyria dengan ekspresi serius.
Rovan, di sisi lain, hanya mengangkat alis. "Jadi, menurutmu anak ini," ia menunjuk Dariel dengan dagunya "adalah pemuda dalam ramalanmu? Tidak ada tekanan sama sekali, ya, Dariel?"
Dariel tersenyum tipis, meskipun terlihat gugup. "Aku tidak tahu apakah itu benar. Tapi aku tahu satu hal. Aku tidak akan berhenti melawan."
Lyria menatap Dariel dengan mata tajam, seolah mencoba membaca pikirannya. "Aku percaya kau adalah bagian dari ramalan itu. Kau membawa sesuatu yang tidak dimiliki orang lain, keberanian untuk melawan meskipun dunia melawanmu. Itu adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan."
Sebelum Dariel bisa menjawab, suara gemerisik dari dalam hutan membuat mereka semua tegang. Lyria berdiri dengan cepat, matanya memindai kegelapan. "Kita tidak sendirian."
Kaelen meraih pedangnya, sementara Rovan mengeluarkan kapaknya. Dariel, yang baru mendapatkan senjata claws dari Rovan, bersiap dalam posisi bertahan.
Dari balik kegelapan, sesosok makhluk raksasa muncul. Grand Sporeling, makhluk menyerupai jamur raksasa dengan akar-akar menjalar, berdiri dengan tubuh yang berpendar kehijauan. Udara di sekitar mereka mendadak dipenuhi aroma tajam seperti jamur busuk.