Malam sebelum mereka berangkat ke gurun, kelompok itu berkumpul di sekitar api unggun kecil di tepi hutan. Lyria, yang biasanya pendiam, mengambil kesempatan untuk menjelaskan tujuan perjalanan mereka berikutnya.
“Jadi,” kata Kaelen sambil memandang Lyria, “kau mengatakan bahwa reruntuhan di gurun itu punya sesuatu yang bisa membantu kita? Sesuatu yang lebih dari sekadar pasir dan kematian?”
Lyria mengangguk, matanya memandang ke arah api, cahayanya memantulkan kerlip lembut di iris hijaunya. “Aku tidak yakin apa tepatnya yang ada di sana, tapi reruntuhan itu muncul dalam salah satu penglihatanku. Di sana, aku melihat sesuatu yang bisa mengubah arah perang melawan sihir.”
“‘Sesuatu’ itu apa?” tanya Rovan dengan nada skeptis sambil menyilangkan tangan di dadanya. “Jangan bilang hanya batu tua atau tongkat rusak.”
Lyria menghela napas, mencoba mengabaikan nada sarkastik Rovan. “Aku percaya itu adalah artefak. Artefak kuno yang berasal dari zaman sebelum kerajaan sihir berdiri. Sesuatu yang diciptakan untuk melawan kekuatan sihir.”
Dariel, yang duduk diam sambil memegang claws-nya, menatap Lyria. “Bagaimana kau tahu itu nyata? Bagaimana kalau hanya penglihatan lain yang tidak pasti?”
Lyria menoleh ke arah Dariel, ekspresinya serius. “Aku tidak tahu pasti. Ramalanku bukan kebenaran mutlak, Dariel. Mereka hanyalah kemungkinan, jalan yang bisa terjadi, bukan yang pasti akan terjadi. Tapi aku percaya pada apa yang kulihat. Artefak itu adalah harapan. Kalau aku salah, kita tidak kehilangan apa-apa selain waktu.”
Kaelen mengangguk, meskipun wajahnya tidak sepenuhnya yakin. “Apa yang kau lihat dalam penglihatanmu? Kau bilang itu melibatkan artefak, tapi seperti apa wujudnya?”
“Aku tidak tahu wujudnya,” kata Lyria pelan. “Hanya gambaran kabur. Sesuatu yang tersembunyi di bawah pasir, di reruntuhan besar. Aku melihat cahaya, biru dan cemerlang, seperti sihir kuno yang terkunci di sana. Tapi aku juga melihat bahaya, bayangan yang melindungi tempat itu.”
“Bahaya. Tentu saja ada bahaya,” gumam Rovan. “Seolah perjalanan ini belum cukup buruk.”
Kaelen mengabaikan komentar Rovan. “Jika benar artefak itu bisa membantu kita melawan sihir, maka itu layak dicoba. Setidaknya kita harus mencari tahu apa yang ada di sana.”
Dariel memandang api unggun yang berkedip. Ada keraguan dalam dirinya, tapi ia tahu mereka tidak punya banyak pilihan. Setiap langkah yang mereka ambil adalah risiko, tapi risiko itu sepadan jika membawa mereka lebih dekat pada tujuan mereka.
“Aku setuju,” katanya akhirnya. “Kita akan pergi ke sana.”
Rovan mendesah keras. “Bagus sekali. Ayo kita semua mati bersama di gurun.”
Lyria tersenyum tipis mendengar komentar itu. “Kalau kita bertahan hidup, mungkin kau akan belajar untuk tidak selalu sinis, dwarf.”
Rovan mendengus. “Jangan berharap terlalu banyak, elf.”
Beberapa hari kemudian, mereka meninggalkan hutan dan mulai mendekati gurun Sahrun. Dalam perjalanan, Lyria meluangkan waktu untuk menjelaskan lebih banyak tentang legenda artefak itu.
“Artefak yang kita cari,” katanya, “mungkin adalah salah satu dari banyak benda yang diciptakan oleh para penjaga kuno. Mereka adalah makhluk yang hidup sebelum kaum sihir berkuasa. Konon, mereka menciptakan alat-alat untuk menyeimbangkan dunia, untuk melindungi orang-orang dari bahaya kekuatan yang tak terkendali.”
Kaelen, yang berjalan di depan, memandang ke belakang dengan rasa ingin tahu. “Kalau artefak ini begitu kuat, kenapa tidak digunakan saat kaum sihir pertama kali muncul?”
Lyria mengangkat bahu. “Tidak ada yang tahu. Mungkin artefak itu tersembunyi terlalu dalam, atau mungkin penggunanya sudah tidak ada lagi. Yang jelas, tidak ada catatan jelas tentang keberadaannya. Hanya cerita rakyat dan potongan-potongan ramalan.”
Rovan, yang berjalan di samping Dariel, bergumam, “Cerita rakyat dan ramalan. Sangat meyakinkan.”