Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #11

Pelarian Dari Gurun #11

Dinginnya reruntuhan kuno berubah menjadi panas menyengat begitu kelompok Dariel melangkah keluar dari pintu besar yang sudah usang. Udara padang pasir kembali menyelimuti mereka dengan kejam, menyengat kulit dan membuat napas terasa berat. Namun, ketegangan tak hanya datang dari cuaca ekstrem. Pasukan kerajaan Thalvinar kini berada di belakang mereka.

Dari kejauhan, suara langkah kaki dan gemerincing baju besi terdengar, menggetarkan tanah. Kaelen berbalik dengan wajah tegang, mengamati debu yang mulai mengepul di cakrawala.

"Kita harus bergerak sekarang," katanya, nada suaranya datar namun mendesak.

Dariel mengangguk. "Kita tidak akan menang jika bertarung dengan mereka. Kita harus menghindar sejauh mungkin."

Rovan menghela napas berat, mengusap dahinya yang berkeringat. "Menghindar, ya? Itu artinya kita harus berlari... lagi."

Kaelen memimpin kelompok ke arah timur, melalui bukit-bukit pasir yang tak berujung. Ia terus menatap horizon, mencari tanda-tanda jalan keluar. Namun, kecepatan pasukan yang mengejar mereka jauh lebih tinggi. Dari belakang, suara teriakan perintah mulai terdengar, tanda bahwa musuh semakin dekat.

"Apa kita benar-benar bisa keluar dari ini?" tanya Lyria, matanya menatap ke belakang, mencari jejak pasukan kerajaan.

"Kita harus," jawab Kaelen tanpa ragu. "Aku tahu jalur-jalur seperti ini. Kalau kita bisa mencapai celah bukit di depan sana, kita bisa menghilang dari pandangan mereka."

Namun, celah itu masih terlalu jauh, dan langkah kaki mereka semakin berat karena pasir yang menghisap kaki.

"Aku punya ide," kata Lyria tiba-tiba. "Aku bisa menggunakan sihir untuk membuat penghalang pasir. Itu akan memperlambat mereka."

Dariel memandangnya ragu. "Kau yakin? Bagaimana kalau mereka tahu kau melakukannya dan mulai menyerangmu?"

Lyria mengangguk yakin. "Aku tahu risikonya. Tapi ini lebih baik daripada membiarkan mereka menangkap kita."

Ia berhenti sejenak, mengangkat tangannya, dan mulai mengucapkan mantra dalam bahasa elf kuno. Pasir di sekitarnya mulai bergerak, membentuk dinding besar yang menghalangi jalan pasukan kerajaan. Namun, setelah beberapa detik, tubuh Lyria terlihat goyah.

"Lyria, hentikan!" seru Dariel, melangkah mendekat untuk menopangnya.

"Aku baik-baik saja," jawabnya cepat, meskipun suaranya terdengar lemah.

Namun, saat mereka melanjutkan perjalanan, Lyria mulai memimpin kelompok ke arah yang berbeda. "Ikuti aku, aku tahu jalan keluar lain," katanya.

Kaelen menatapnya dengan alis terangkat. "Kau yakin? Aku rasa kita harus tetap ke arah celah itu."

"Tidak," jawab Lyria tegas. "Jalur ini lebih aman. Percayalah padaku."

Lyria melirik Rovan dengan kesal, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Dariel menengahi, mencoba meredakan ketegangan. "Kita tidak punya banyak waktu untuk berdebat. Ayo teruskan saja."

Namun, ketakutan Rovan ternyata benar. Jalur yang dipilih Lyria membawa mereka ke area yang penuh dengan batu besar dan celah dalam, tempat sempurna untuk jebakan alami. Suara gemerisik dari bawah mereka mulai terdengar, membuat Kaelen menghunus pedangnya dengan cepat.

"Ada sesuatu di sini," katanya pelan, memindai sekeliling.

Tiba-tiba, dari salah satu celah, seekor makhluk besar melompat keluar. Tubuhnya bersisik, matanya merah menyala, dan giginya tajam seperti belati. Itu adalah Sandlurker, predator gurun yang memanfaatkan pasir dan bebatuan untuk menyerang mangsanya.

"Bagus sekali, nona! Kalau mau ke sarang monster, ini memang jalan yang tepat!" seru Rovan sambil mengangkat kapaknya. "Ini benar-benar jalan yang aman!"

Lihat selengkapnya