Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #14

Intrik Sang Bajak Laut #14

“Jangan bermain-main denganku,” Kaelen mendesis, kini benar-benar curiga. Ia melirik ke arah kegaduhan di ujung jalan, lalu kembali menatap Selene. “Kau tahu sesuatu, bukan?”

Selene hanya tertawa kecil, suaranya lembut namun menggema di gang yang sepi. “Hati-hati di luar sana, Kaelen. Dunia ini penuh dengan pengkhianat... dan teman yang tak terduga.”

Sebelum Kaelen sempat membalas, Selene sudah melangkah pergi ke arah yang berlawanan, menghilang ke dalam bayangan gang.

Kaelen menggertakkan giginya. Nalurinya mengatakan bahwa Selene terlibat dalam apa yang terjadi hari ini. Tapi ia tidak punya waktu untuk memastikannya. Dariel mungkin sudah dalam bahaya besar, dan itu lebih penting sekarang.

Sementara itu, Salah satu prajurit mengayunkan tongkatnya, dan sebuah bola api besar meluncur ke arah Dariel. Ia melompat ke samping dengan gesit, bola api itu menghantam tanah dan meledak, memecahkan beberapa peti di sekitarnya.

Dariel menyerang dengan cepat. Ia melompat ke arah salah satu prajurit terdepan, cakarnya meluncur dan mengenai bahu prajurit itu sebelum ia sempat melafalkan mantra. Tapi kemenangan itu tak berlangsung lama. Dua prajurit lainnya membalas dengan ledakan sihir angin yang menghantam tubuh Dariel, membuatnya terlempar ke belakang dan menghantam dinding.

“Agh!” Dariel meringis kesakitan. Ia mencoba berdiri, tapi serangan berikutnya datang sebelum ia sempat mengatur napas. Cahaya biru terang menyala di atasnya, diikuti oleh hujan tombak es yang meluncur ke arahnya.

Dariel melompat, menghindari sebagian besar serangan itu, tetapi satu tombak es menembus bahu kirinya, meninggalkan luka yang dalam. Darah mulai mengalir, membasahi jubahnya, namun ia tak punya waktu untuk memikirkan rasa sakit.

“Lemah tanpa sihir, bukan?” ejek salah satu prajurit, mengarahkan tongkatnya lagi.

Dariel terhuyung, tetapi ia tetap berdiri. Matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "Lemah? Aku masih berdiri, eh?"

Ia berlari ke arah prajurit itu dengan kecepatan luar biasa, membuat mereka tak sempat melafalkan mantra. Dengan satu gerakan cepat, cakarnya melintas, memotong tongkat sihir di tangan lawannya menjadi dua. Sebelum prajurit itu sempat bereaksi, Dariel menyikut wajahnya, membuatnya jatuh pingsan.

Namun, serangan balik datang dengan cepat. Dua bola api meluncur bersamaan dari arah yang berbeda. Dariel berguling ke tanah, tapi panasnya api menyambar sisi tubuhnya, membakar sebagian jubahnya. Ia menggertakkan giginya, menahan rasa sakit, dan melompat ke tempat perlindungan di balik gerobak terdekat.

“Jangan beri dia waktu untuk bernapas! Hancurkan dia!”

Pasukan Thalvinar mulai melancarkan serangan bertubi-tubi. Bola api, tombak es, dan gelombang sihir angin menghancurkan gerobak tempat Dariel berlindung, memaksanya kembali ke ruang terbuka. Ia bergerak cepat, menghindari serangan demi serangan, tapi tubuhnya mulai melemah.

Dustfang yang sejak tadi hanya mengamati akhirnya menyerang. Makhluk itu melompat dengan cakarnya yang tajam, mencoba mencabik Dariel. Ia berhasil menghindari serangan pertama, tetapi Dustfang lebih cepat dari yang ia duga. Serangan kedua makhluk itu menghantam punggung Dariel, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah.

Dariel mencoba bangkit, tetapi Dustfang sudah melompat lagi. Dengan gerakan terakhir, ia mengangkat cakarnya untuk menangkis serangan. Cakar itu menghantam rahang Dustfang, membuatnya mundur beberapa langkah sambil menggeram marah.

Dariel tersengal-sengal. Luka di tubuhnya semakin parah, dan ia tahu bahwa ia tak bisa bertahan lebih lama lagi. Namun, ia menolak menyerah. Ia berdiri, meski tubuhnya gemetar karena kelelahan dan rasa sakit.

Lihat selengkapnya