Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #15

Teman Atau Musuh? #15

“Kau benar-benar gila, anak muda,” Rovan menggerutu sambil membersihkan luka di bahu Dariel. “Apa yang ada di kepalamu? Melawan pasukan sihir sendirian? Mereka bukan bandit rendahan.”

Dariel hanya menggeram, mencoba duduk meskipun tubuhnya masih terasa nyeri. “Aku tidak bisa lari begitu saja... Mereka sudah mengepungku. Kalau aku menyerah, mereka akan menangkapku, atau lebih buruk…”

Kaelen, yang berdiri di dekat pintu masuk lorong, mengamati sekitar untuk memastikan mereka tidak diikuti. Ia melirik Dariel dengan ekspresi serius. “Kau seharusnya lebih berhati-hati. Velmora mungkin kota bebas, tapi kerajaan Thalvinar punya mata-mata di mana-mana.”

Dariel terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Kaelen. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Rovan mendengus keras. “Dan bicara soal mata-mata, aku yakin ada yang menjual informasi tentang kita. Pasukan Thalvinar tidak mungkin muncul begitu saja tanpa alasan.”

Lyria, yang berdiri di sisi Dariel, mengangguk setuju. “Aku juga merasakan hal yang sama. Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu keberadaan kita.”

Kaelen mengepalkan tangan. “Selene.”

Semua mata langsung tertuju padanya. “Apa maksudmu?” tanya Dariel lemah.

“Aku melihatnya tadi,” jawab Kaelen. “Dia ada di keramaian. Tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri di sana... dan tersenyum.”

Rovan langsung memukul lututnya dengan kepalan tangan. “Ah, bajingan itu! Aku tahu dia tidak bisa dipercaya!”

“Tunggu dulu,” Lyria memotong. “Kita tidak punya bukti. Meski begitu, kalau benar dia yang menjual informasi, kita harus hati-hati. Velmora mungkin aman dari kerajaan, tapi bukan berarti kita bisa bersantai di sini.”

Kaelen mengangguk. “Mulai sekarang, kita harus lebih waspada. Dan Dariel…” Ia menatap pemuda itu dengan tajam. “Jangan bertindak gegabah lagi. Kau penting untuk misi ini. Kita tidak bisa kehilanganmu.”

Dariel menghela nafas panjang, merasa campuran rasa bersalah dan frustasi. “Aku tahu. Aku hanya… tidak ingin menjadi beban.”

“Kau bukan beban, Dariel,” kata Lyria dengan nada lembut. “Tapi kau tidak bisa memikul semuanya sendirian. Kita tim. Kita menghadapi ini bersama.”

Keheningan melingkupi mereka sejenak, hanya suara nafas Dariel yang terdengar. Akhirnya, Rovan berseru, “Baiklah, cukup drama. Mari kita fokus pada apa yang penting. Kita butuh rencana.”

Kaelen menatap keluar lorong dengan mata tajam. “Mulai sekarang, kita bergerak dalam bayangan. Jika Selene benar-benar pengkhianat, kita akan memastikan dia tidak punya kesempatan melaporkan kita lagi.”

Malam itu, di sebuah rumah kecil yang mereka sewa dengan uang hasil kerja keras, suasana begitu tegang. Dariel masih terbaring di atas kasur sederhana, sementara Kaelen duduk di sudut ruangan, memegang pedangnya erat-erat, tatapannya tajam ke arah pintu. Rovan sibuk mengasah kapaknya, dan Lyria merapalkan mantra pelindung kecil di sekitar mereka.

Lihat selengkapnya