“Tidak mungkin,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. “Dia masih hidup…”
Assassin muda itu tampak bingung, tetapi rasa ingin tahunya terlihat jelas. “Guru, apakah Anda mengenal pria itu?” tanyanya hati-hati.
Pria tua itu menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Aku mengenalnya, lebih dari yang kau kira. Itu adalah cucuku.”
Assassin muda itu terkejut. “Cucu Anda? Dariel? Apakah dia… bagian dari kita?”
“Tidak,” jawab pria tua itu, suaranya berubah sedikit melankolis. “Aku pikir aku telah kehilangan dia… Tapi sekarang, dia muncul kembali, sebagai buronan.”
“Apakah kita akan mencarinya, Guru? Membawanya kembali ke sini?” tanya assassin muda itu penuh semangat.
Pria tua itu tertawa kecil, getir. “Membawanya kembali? Tidak. Dariel sudah dewasa. Jika dia memilih untuk melawan kerajaan Thalvinar, maka itu adalah jalannya sendiri. Aku tidak akan memaksanya kembali, meskipun aku khawatir pada apa yang akan dia hadapi.”
“Kenapa dia meninggalkan tempat ini, Guru? Bukankah dia bisa menjadi salah satu dari kita?” tanya assassin muda itu lagi, nadanya penuh rasa ingin tahu.
Pria tua itu termenung, menatap poster buronan di tangannya. “Dia selalu memiliki hati yang penuh kemarahan. Dia melihat ketidakadilan di dunia ini, terutama yang dilakukan oleh para penyihir dan kerajaan. Ketika dia masih kecil, dia pernah mengatakan padaku bahwa dia ingin menghancurkan sistem yang menindas orang-orang lemah. Tapi aku tahu, menjadi seorang assassin bukanlah jalan yang cocok. Dia ingin menjadi suara bagi kaum yang tertindas.”
Assassin muda itu diam, mencoba mencerna kata-kata gurunya. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?”
Pria tua itu melipat poster buronan itu dengan hati-hati dan meletakkannya di meja. “Tidak ada yang perlu kita lakukan. Dariel sudah memilih jalannya. Jika dia membutuhkan kita, dia akan menemukan jalannya ke sini. Tapi untuk sekarang, kita biarkan dia berjuang dengan caranya sendiri.”
Ia bangkit dari kursinya, mengambil belati dari meja, dan memandang assassin muda itu. “Kita punya misi yang harus diselesaikan. Jangan biarkan urusan ini mengalihkan perhatian kita. Tapi ingatlah, jika suatu saat kau bertemu Dariel di luar sana… berikan dia pesan ini dariku.”
“Apa pesannya, Guru?” tanya assassin muda itu dengan penuh rasa ingin tahu.
“Katakan padanya… aku bangga padanya, meskipun aku tidak setuju dengan jalannya.” Senyum tipis muncul di wajah pria tua itu. “Dan katakan juga, jika dia membutuhkan rumah, berikan peta ke pulau ini.”
Assassin muda itu mengangguk, mencatat pesan itu dalam ingatannya. Ia lalu membungkuk hormat dan keluar dari ruangan, meninggalkan pria tua itu sendiri. Pria tua itu kembali duduk, memandangi poster buronan itu sekali lagi sebelum menghela napas panjang.
Pria tua itu memandangi poster buronan itu sekali lagi, kini dengan perhatian yang lebih mendetail. Ia menyipitkan matanya, memperhatikan setiap detail wajah dan pakaian mereka yang tergambar jelas. Jemarinya menyusuri lukisan kasar pada poster, berhenti pada garis-garis pakaian Dariel, Rovan, dan Kaelen.
“Menarik…” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Ia menyandarkan diri ke kursi kayu, matanya tak lepas dari pakaian Dariel.
Setelan Dariel, jubah sederhana berwarna gelap dengan kerudung yang tersampir longgar di bahunya begitu mirip dengan desain pakaian para assassin. Bahkan Kaelen dan Rovan, meski terlihat lebih khas dengan gaya mereka sendiri, menggunakan elemen pakaian yang dirancang untuk fleksibilitas dan penyamaran, ciri khas para pembunuh bayangan. Sabuk berlapis dengan kantong kecil, pola kain yang dapat menyatu dengan lingkungan, hingga sepatu ringan yang tak bersuara.
“Pakaian itu…” bisiknya, hampir dengan nada kagum. “Dia tahu. Dia tahu cara menyamar seperti kita.”