Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #23

Kawanan Singa Untuk Anak Serigala #23

Dengan jubah yang membuat tubuhnya hampir tak terlihat, Dariel bergerak cepat di antara pepohonan. Namun, para penyihir Thalvinar bukan lawan biasa. Mereka mulai melemparkan sihir yang tidak hanya menyerang secara langsung, tetapi juga memengaruhi area yang luas.

Kilatan petir menyambar pohon-pohon di sekitarnya, menciptakan suara gemuruh yang menggetarkan. Bola api besar meledak di tanah, menyalakan hutan dengan nyala api yang cepat menjalar. Dariel melompat, berguling, dan melarikan diri secepat mungkin, tetapi setiap langkahnya terasa semakin sulit.

Sebuah semburan angin tajam menyerempetnya, memotong lengan bajunya dan meninggalkan goresan di kulitnya. Dariel meringis, tetapi tidak berhenti.

"Mereka bisa mendengarkan langkahku!" pikirnya panik.

Dia mencoba melambatkan napasnya, mengurangi suara langkah kakinya sebanyak mungkin, tetapi itu tetap tidak cukup. Para penyihir mulai mengatur formasi, mencoba mengepungnya dari segala arah.

Dariel menyadari dia tidak punya pilihan lain. Jika dia terus bertahan seperti ini, mereka akan menemukannya. Dia harus mengambil risiko.

Dia meraih salah satu belati kecil di pinggangnya dan melemparkannya ke arah salah satu penyihir. Lemparan itu akurat, mengenai salah satu penyihir yang sedang melantunkan mantra, membuat sihirnya terhenti.

Namun, aksi itu membuat jubah transparannya kehilangan efeknya lagi. Kini Dariel terlihat jelas di mata semua penyihir.

"Di sana!" salah satu dari mereka berteriak, dan rentetan sihir langsung diarahkan ke tempat Dariel berdiri.

Dariel berguling ke samping, menghindari bola api yang meledak tepat di tempatnya berada. Dia melompat ke atas batang pohon tumbang, lalu segera menyerang salah satu penyihir terdekat dengan cakarnya. Serangan itu mengenai leher penyihir tersebut, menjatuhkannya ke tanah.

Dengan satu lompatan besar, Dariel meraih salah satu cabang pohon dan mulai memanjat. Dia tahu, berada di tanah hanya akan membuatnya lebih mudah menjadi target. Dari atas pohon, dia bisa melihat situasi lebih jelas.

Di bawahnya, para penyihir mulai menyebar, mencoba melacak jejaknya. Salah satu dari mereka melantunkan mantra yang membuat area di sekitar Dariel bersinar dengan cahaya hijau, sihir pelacak.

Dariel menggertakkan giginya. Mereka lebih terlatih daripada yang dia perkirakan.

Dia menarik napas dalam-dalam, lalu bergerak di antara cabang-cabang pohon, melompat dengan gesit. Meski begitu, rasa lelah mulai terasa di tubuhnya. Darah mengalir perlahan dari goresan di lengannya, membuat cengkeramannya melemah.

"Fokus, Dariel," dia berbicara pada dirinya sendiri. "Kau harus sampai di tebing laut."

Langit memerah, menyambut datangnya fajar. Setelah terus bergerak, Dariel akhirnya melihat secercah harapan, kilauan air laut di kejauhan.

Namun, para penyihir masih mengejarnya. Dariel tahu dia harus membuat satu langkah besar terakhir untuk memastikan dirinya selamat.

Dia meraih salah satu bom asap kecil yang tersisa sebelumnya, lalu melemparkannya ke bawah. Asap tebal segera menyelimuti area di sekitar para penyihir, membuat mereka kebingungan.

Dariel menggunakan momen itu untuk melompat turun dari pohon, berlari sekuat tenaga menuju tebing yang telah dijanjikan.

Di belakangnya, suara teriakan dan sihir yang meledak semakin jauh. Dia berhasil.

Saat Dariel tiba di tebing, dia tidak melihat siapa pun. Selene belum kembali dengan kapal, dan Kaelen serta Migurd belum muncul.

Lihat selengkapnya