Lingkaran hitam pekat muncul dari udara di bawah Dariel, memutar seperti pusaran neraka, menarik tubuhnya ke dalamnya dengan kekuatan luar biasa. Dia tidak sempat melawan atau berpikir. Dalam sekejap, Dariel menghilang, terserap oleh kegelapan yang tak berujung.
Di tebing, para penyihir Thalvinar yang menyaksikan kejadian itu terpaku. Lingkaran hitam itu menghilang secepat kemunculannya, meninggalkan keheningan yang mematikan.
Salah seorang penyihir muda dengan rambut pirang bergumam dengan suara gemetar. "Apa... apa tadi itu?"
Wanita berambut perak yang berdiri di dekatnya terdiam, wajahnya memucat. Dia menoleh perlahan ke arah pria berjubah merah, berharap jawaban, tetapi pria itu juga tampak tak kalah terguncang.
"Tidak mungkin..." bisik pria berjubah merah, suaranya hampir tidak terdengar.
Kemudian langkah kaki berat terdengar dari balik bayangan pepohonan. Mereka semua menoleh dengan cemas, jantung mereka berdegup kencang. Dari hutan, seorang pria berjubah hitam muncul, auranya mengintimidasi dan menyeret hawa dingin yang hampir membuat udara terasa membeku.
Mata pria itu, hitam pekat tanpa cahaya, mengintimidasi siapa pun yang berani menatapnya. Di tangannya, sebuah tongkat gelap berukir, yang ujungnya bersinar redup dengan cahaya ungu kelam. Dia berjalan pelan, tapi setiap langkahnya terasa seperti lonceng kematian yang berdentang di telinga para penyihir.
Wanita berambut perak mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar tak terkendali. "Tidak... tidak mungkin... Itu dia..."
Pria berjubah merah akhirnya membuka mulutnya, suaranya terdengar goyah, tak seperti biasanya. "Amerta... Amerta Sang Kegelapan..."
Pria berjubah hitam, yang dipanggil Amerta, berhenti tepat di depan mereka, wajahnya tanpa ekspresi. Suara beratnya memecah keheningan, seperti guntur yang berbisik.
"Kalian pikir kalian bisa menangkap semua yang kabur dari penjara ini?" Amerta menatap pria berjubah merah, yang langsung mundur selangkah, keringat dingin mengalir di pelipisnya.
"K-Kau... Kau seharusnya tidak berada di sini! Penjara itu seharusnya memenjarakanmu! Bagaimana bisa kau berada di luar?!" teriak pria berjubah merah dengan nada putus asa.
Amerta menyeringai samar, senyum itu dingin dan mengancam. "Penjara? Tempat itu adalah rumahku. Tapi bahkan rumah tidak bisa mengurung bayangan, bukan?"
Salah seorang penyihir muda mencoba melangkah maju, meskipun tubuhnya gemetar hebat. "Kami... kami adalah penyihir Thalvinar! Kau tak bisa sembarangan menyerang kami, Amerta!"
Amerta menoleh perlahan, tatapannya cukup untuk membuat penyihir itu berlutut di tempat. "Thalvinar?" dia berkata dengan nada mengejek. "Kalian adalah serangga yang sombong. Bahkan jika kalian bersatu, kalian tetap tidak lebih dari bayanganku."
Pria berjubah merah mengangkat tongkatnya, mencoba menunjukkan keberanian. "K-Kami tidak takut padamu! Jangan lupa siapa yang memberikan kekuatan padamu, Amerta! Kau hanya—"
Amerta mengangkat tangannya dengan gerakan ringan, dan pria berjubah merah langsung terdiam, seperti ada sesuatu yang mencengkeram tenggorokannya. Dia tercekik, terjatuh berlutut, tangannya berusaha melepas cengkeraman tak terlihat itu.
Amerta menatapnya dengan dingin. "Aku hanya apa? Lanjutkan. Aku ingin tahu apa yang kau pikirkan tentangku."
Pria berjubah merah hanya bisa meronta-ronta, wajahnya memerah karena kekurangan udara.
Wanita berambut perak memohon, suaranya penuh ketakutan. "T-Tolong! Jangan bunuh dia! Kami hanya menjalankan perintah!"