Dariel digiring masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang dikelilingi dinding kayu berukir. Lampu minyak menerangi ruangan dengan cahaya redup, menciptakan bayangan di sudut-sudut ruangan yang terasa menekan.
Raka Tigor mengerutkan kening. “Dariel... Kau bukan berasal dari sini. Kulitmu, cara bicaramu, semuanya aneh. Apa yang kau lakukan di pantai kami? Apakah kau mata-mata dari Thalvinar?”
“Tidak!” jawab Dariel cepat. “Aku bukan mata-mata. Aku terdampar di pantai setelah... setelah aku dilempar oleh Blackhole.”
Ruangan itu hening seketika. Para penjaga saling memandang, dan wanita di samping Raka Tigor tampak mengerutkan dahi.
“Blackhole?” ulang Raka Tigor, matanya menyipit. “Itu sihir tingkat tinggi. Bagaimana mungkin kau selamat dari itu?”
Dariel menggigit bibirnya, menyadari bahwa jawabannya akan menentukan nasibnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata, “Aku tidak tahu kenapa aku selamat. Tapi aku tidak punya niat jahat. Aku... aku hanya mencoba bertahan hidup.”
Raka Tigor mengangguk pelan, tetapi ekspresinya tetap tak terbaca. “Jika itu benar, kenapa kami harus mempercayaimu? Banyak orang yang mengatakan mereka tidak punya niat jahat, tapi akhirnya menusuk dari belakang.”
"Bawa dia ke aula duel. Kita akan membunuhnya dengan cara duel." Perintah Raka Tigor kepada salah satu penjaga. “Biarkan dia memilih perlengkapan yang dia butuhkan, dan jika dia berbakat, akan ku pertimbangkan untuk mengundangmu masuk ke kelompok kami."
Pagi itu, Dariel berdiri di tengah sebuah lapangan terbuka yang dikelilingi hutan lebat. Anggota Assassin berkumpul, membentuk lingkaran di sekitar arena sederhana. Beberapa berdiri dengan tangan terlipat, menatapnya dengan sorotan skeptis, sementara yang lain tampak penasaran. Di tengah kerumunan, Raka Tigor berdiri dengan tubuh tegap, memandang Dariel dengan sorot mata tajam.
“Dengar baik-baik, bocah,” kata Raka Tigor, suaranya bergema di seluruh lapangan. “Kami tidak menerima siapa pun tanpa alasan yang jelas.”
Dariel menelan ludah, menatap Raka Tigor tanpa gentar.
“Untuk itu,” lanjut Raka Tigor, “kau akan diuji. Kau akan melawan beberapa anggota kami. Jika kau berhasil bertahan dan menunjukkan kemampuanmu, kau bisa tetap hidup. Jika tidak...” Dia mengangkat bahu. “Setidaknya, kau akan mati dengan kehormatan.”
"Kecepatan seperti kilat, kekuatan seperti harimau! Keberanian yang mengaum, kekuatan yang tak terkalahkan." Para anggota Assassin itu bersorak, senyuman tipis menghiasi wajah mereka. Mereka seolah menikmati kesempatan untuk melihat seseorang diuji di hadapan mereka.
"Pisau yang melengkung itu adalah karambit. Sementara pedang dengan bilah melengkung itu adalah Parang. Pilihlah sesukamu." Ucap seorang Assassin yang berdiri di samping rak senjata.
Dariel melangkah masuk, matanya terpaku pada berbagai pilihan senjata. Ada hidden blade yang tertata rapi di sudut, karambit dengan ukiran khas, parang yang besar dan tajam, pisau lempar yang ringan, hingga parang, dengan bilah melengkung.
Ia mendekati rak yang berisi hidden blade, mengambil salah satu yang tampak kokoh namun sederhana. Ia menguji mekanismenya, memastikan bilah itu keluar dengan lancar. Kemudian, ia melangkah ke rak lain dan mengambil beberapa pisau lempar, yang menurutnya akan berguna untuk serangan jarak jauh.