Beberapa minggu telah berlalu sejak Dariel tiba di markas Harimau Rimba. Dalam kurun waktu itu, Dariel telah menjalani pelatihan intensif. Gerakannya yang dulu kaku perlahan menjadi lebih halus, lebih terlatih, berkat pengawasan ketat dari Raka Tigor dan para mentor lainnya. Namun, satu hal yang paling mencuri perhatian Raka Tigor adalah teknik pisau lempar Dariel yang begitu mirip dengan Zaroth, sang pemimpin legendaris Elang Langit.
Pada suatu pagi yang cerah, Raka Tigor duduk di ruang kerjanya yang sederhana namun penuh wibawa. Di depannya, selembar kertas perkamen dan pena bulu tergeletak. Seekor elang besar bertengger di dekat jendela terbuka, seolah menunggu tugas penting.
Raka menghela napas panjang sebelum mulai menulis surat.
Isi Surat:
Ayah,
Cucumu, berada di pulau kami, Nusantara.
Aku tak tahu bahwa kau punya cucu. Ia memperkenalkan dirinya dengan Nama Dariel.
Kami menemukan dia setelah dia terdampar di pantai, terluka dan kehilangan arah. Awalnya, kami waspada. Bagaimana tidak? Ini adalah aturan pertama yang Ayah ajarkan kepada kami, yaitu waspada kepada siapa pun yang memasuki wilayah kami.
Namun, setelah mengenalnya, aku yakin dia adalah cucumu. Teknik pisau lemparnya mengingatkanku pada pelajaran yang Ayah berikan dulu. Gerakannya mungkin belum sempurna, tetapi ada potensi besar di dalam dirinya.
Aku akan melatihnya lebih jauh, sesuai dengan prinsip Harimau Rimba dan nilai yang telah Ayah ajarkan kepada kami. Aku yakin, dengan waktu, dia bisa menjadi penerusmu yang layak.
Dengan hormat,
Raka Tigor
Raka melipat surat itu dengan hati-hati, lalu memasukkannya ke dalam tabung kecil yang diikatkan pada kaki elang. Dia mengusap kepala burung itu dengan lembut sebelum membisikkannya, "Pergilah, cepat, dan jangan sampai ada yang menghalangimu."
Elang itu mengepakkan sayapnya yang besar dan terbang ke udara, membelah langit biru dengan keanggunan luar biasa.
Dariel sedang berlatih memanjat dinding batu bersama beberapa Assassin Harimau Rimba lainnya. Keringat membasahi tubuhnya, tetapi dia tidak berhenti. Dia tahu bahwa setiap detik latihan ini penting untuk kelangsungan hidupnya. Saat dia mencapai puncak dinding, dia melihat Raka berdiri di bawah, mengawasinya dengan tatapan tajam.
"Bagus," kata Raka, suaranya menggema di area latihan. "Tapi kau masih terlalu lambat. Dalam pertempuran nyata, musuh tidak akan memberimu waktu sebanyak itu."
Dariel mengangguk, terengah-engah. "Aku akan lebih cepat lain kali."