Raka Tigor mulai membagi tim.
“Tim pertama,” katanya sambil menunjuk ke arah Wira dan Adra, “akan pergi ke Treyval. Tugas kalian adalah menghancurkan garnisun dan memutus suplai militer di sana. Gunakan taktik cepat, serang, lalu lenyap. Jangan biarkan mereka tahu dari mana kalian datang. Biarkan para pemberontak yang memancing keributan.”
Wira tersenyum lebar. “Gampang, Tuan. Treyval akan jadi mimpi buruk untuk mereka.”
“Tim kedua,” lanjut Raka, “akan menuju Caelora. Fokus kalian adalah tambang kristal sihir. Hancurkan tambang itu atau, kalau memungkinkan, ambil beberapa kristal untuk kita gunakan. Dariel, kau akan memimpin tim ini.”
Dariel terkejut, tetapi ia segera mengangguk dengan penuh keyakinan. “Aku tak bisa menggunakan suplai sihir sih... Aku mengerti, Tuan. Aku tidak akan mengecewakan.”
“Tim ketiga,” Raka melanjutkan, “akan menuju Velgrad. Pelabuhan itu adalah urat nadi logistik mereka. Tanpa pelabuhan itu, pasokan untuk wilayah barat Thalvinar akan lumpuh. Arka, kau memimpin tim ini.”
Arka Wiranata tersenyum lebar. “Akhirnya, aku bisa bersenang-senang sedikit.”
Raka menatap mereka semua dengan serius. “Ingat, ini adalah operasi besar. Koordinasi kita harus sempurna. Satu kesalahan saja bisa membuat seluruh rencana ini berantakan. Kita hanya punya satu kesempatan.”
Di tengah persiapan keberangkatan, Dariel berdiri di dekat tenda logistik, memeriksa karambit tersembunyi miliknya. Di sudut pandangnya, Wira dan Adra sedang bercanda sambil mengikat peralatan mereka. Keduanya selalu tampak akrab, tetapi bagi Dariel, hubungan mereka hanya sebatas rekan Assassin yang saling mendukung.
“Dariel!” panggil Wira sambil melambai. “Hei, jangan terlalu serius memeriksa senjatamu. Santai sedikit. Kita ini Assassin, bukan prajurit yang penuh tekanan.”
Dariel tersenyum tipis. “Aku hanya memastikan senjataku bekerja dengan baik. Berbeda dari senjata biasa.”
Adra mendekat sambil membawa tas perlengkapan. “Kalau karambit itu rusak, kau selalu bisa pakai pisau biasa. Lihat saja kami, masih pakai senjata standar, tapi efektif.”
“Jangan sombong dulu, Adra,” sela Wira sambil tertawa. “Kalau senjatamu standar, kenapa kau selalu kalah kalau latihan tanding denganku?”
Dariel menatap mereka berdua dengan penasaran. “Kalian berdua... selalu akrab, ya. Kalian sudah lama kenal?”
Wira dan Adra saling pandang, lalu tertawa serempak.
“Kami tidak hanya kenal lama,” kata Adra. “Kami ini saudara kembar.”
Dariel melongo. “Kembar?! Tidak mungkin! Kalian tidak mirip sama sekali!”
Wira terkikik sambil menyenggol bahu Adra. “Kembar tak seiras, tepatnya. Aku yang lebih tampan, jelas.”
Adra mendengus. “Kau hanya lebih tampan kalau kita sedang dalam gelap total.”