Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #39

Terlalu Damai #39

Malam telah menyelimuti Caelora dengan cahaya bulan perak yang menggantung tinggi di langit. Kota ini berbeda dari wilayah lain di bawah kekuasaan Thalvinar. Tidak ada tanda-tanda penindasan, tidak ada rakyat yang hidup dalam ketakutan. Mereka tersenyum, bekerja dengan tenang, dan menjalani hidup seolah-olah tidak ada ancaman dari kerajaan tirani.

Dariel dan rekannya, Calem, telah beberapa hari menyamar sebagai rakyat biasa, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Mereka berbaur dengan penduduk, mengunjungi pasar, berbicara dengan pedagang, dan mengamati kehidupan sehari-hari. Namun, semakin lama mereka berada di sini, semakin besar kecurigaan mereka.

Di kedai sederhana yang terletak di sudut kota, Dariel duduk di pojokan, menyesap minuman hangat sambil memperhatikan orang-orang yang lalu lalang. Calem duduk di depannya, memainkan sendoknya di dalam mangkuk sup.

"Ini aneh," gumam Dariel.

Calem menoleh. "Apa yang aneh?"

"Semua orang di sini… bahagia. Mereka bahkan tidak terlihat waspada, tidak ada ketakutan di mata mereka seperti yang kita lihat di wilayah Thalvinar lainnya."

Calem mengangguk pelan, lalu berbisik, "Mereka bisa saja dicuci otaknya. Atau lebih buruk… mereka tahu sesuatu yang tidak kita tahu."

Seorang wanita tua melewati meja mereka, meletakkan sekeranjang roti di atas meja mereka dengan senyum hangat.

"Kalian baru di sini?" tanyanya dengan suara lembut.

Dariel menatapnya sesaat sebelum mengangguk. "Iya, kami dari luar kota. Baru pertama kali datang ke Caelora."

Wanita itu tersenyum. "Selamat datang, anak muda. Caelora adalah tempat yang damai, tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sini."

Calem bertukar pandang dengan Dariel sebelum bertanya, "Bukankah kota ini berada di bawah kekuasaan Thalvinar?"

"Tentu saja," jawab wanita itu tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. "Tapi tidak ada yang buruk di sini. Kami hidup dengan baik, bekerja, makan, dan tidur dengan damai. Tidak ada perang, tidak ada penderitaan. Semua orang bisa hidup tenang."

Dariel memperhatikan matanya. Tidak ada ketakutan, tidak ada kebohongan. Ia merasa merinding.

Setelah wanita itu pergi, Calem membungkuk sedikit ke arah Dariel dan berbisik, "Otaknya sudah dicuci habis-habisan."

Dariel mendesah. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ini terlalu janggal."

Calem mengangguk. "Kau punya rencana?"

Dariel menyesap minumannya sebelum menjawab, "Kita menyusup ke mansion gubernur. Orang seperti itu pasti tahu sesuatu yang tidak diketahui rakyatnya."

Malam itu, Dariel dan Calem bergerak dalam bayangan. Mereka berpakaian serba hitam, bergerak di antara gang-gang sempit, menghindari penjaga yang berjaga di sekitar mansion. Bangunan besar itu berdiri kokoh di tengah kota, dengan arsitektur megah yang kontras dengan kesederhanaan rumah-rumah rakyat.

Dari atap salah satu rumah, Calem mengamati situasi. "Penjaganya tidak banyak, tapi ada beberapa yang berjaga di pintu utama dan di halaman belakang."

"Kita masuk lewat sisi timur," bisik Dariel.

Mereka melompat dari atap ke atap, lalu turun dengan senyap ke halaman belakang mansion. Dengan cepat, mereka bersembunyi di balik semak-semak ketika seorang penjaga melintas.

Dariel memberi isyarat. "Sekarang."

Mereka bergerak cepat, menyelinap melewati penjaga yang tidak menyadari kehadiran mereka. Dengan gesit, Dariel memanjat dinding batu mansion, diikuti oleh Calem. Mereka memasuki mansion melalui jendela lantai dua, lalu bergerak di sepanjang koridor yang remang-remang.

"Lihat itu," bisik Calem sambil menunjuk ke bawah.

Lihat selengkapnya