Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #43

Menuju Thalvinar #43

Di atas atap sebuah bangunan di Caelora, Dariel menatap langit malam. Angin dingin berembus, membawa serta beban pikirannya yang semakin berat. Ia menggenggam surat dari Wira erat-erat, matanya menelusuri tiap kata yang tertulis di dalamnya.

"Kaedric telah membunuh Zorath dan Raka. Arka juga mati di tangannya. Kami sedang diburu, tapi jangan pikirkan kami. Fokuslah pada Tharvion. Kami punya firasat buruk tentang perang ini."

Tangan Dariel sedikit gemetar. Ia mengepalkan surat itu, napasnya berat.

“Kaedric adalah dalangnya…”

Ia menutup matanya, mengingat kembali semua yang ia ketahui. Semua yang awalnya terasa seperti potongan teka-teki yang tak berhubungan, kini mulai tersambung.

"Edwie bilang Assassin seperti memiliki dua faksi yang bertolak belakang… Kaelen mencurigai ada seseorang setara dengan Kakek yang mengkhianati kami… Sacred Artifact yang dibicarakan Orwain dan distorsi sihir yang terjadi selama perang… Apa ini semua ada hubungannya?"

Ia menghela napas panjang, lalu menatap ke kejauhan, ke arah kerajaan Thalvinar. "Aku terlalu lama meragukan semuanya… dan sekarang, perang ini sudah berjalan satu bulan penuh…" Ia mengepalkan tinjunya. "Wira dan Adra akan mengurus Kaedric… dan aku…"

Dariel mengembuskan napas, matanya menatap tajam ke kejauhan. "Aku harus membunuh Tharvion."

Hari itu juga, Dariel pergi menemui Kaelen. Pelabuhan Caelora tak pernah benar-benar tenang, bahkan di tengah perang yang berkecamuk di daratan. Suara teriakan awak kapal bercampur dengan denting rantai jangkar dan deburan ombak. Dariel berjalan melewati dermaga yang dipenuhi bau asin laut dan kayu basah.

Disana, Kaelen telah menunggu sambil bersandar di pagar dek sebuah kapal dagang yang tampak biasa saja. Namun, yang lebih menarik perhatian Dariel adalah wanita yang berdiri di sebelahnya.

Selene, atau setidaknya, seseorang yang mirip dengannya.

Dulu, rambut Selene berkilau berwarna merah keemasan. Namun kini, rambutnya hitam pekat seperti malam tanpa bintang.

“Apa-apaan dengan rambutmu?” Dariel menyipitkan mata curiga.

Selene hanya terkekeh, menyelipkan sehelai rambut di balik telinganya. “Perubahan itu perlu, bukan? Lagipula, rambut pirangku terlalu mencolok di Thalvinar. Dengan ini, aku bisa lebih mudah bergerak.”

Kaelen, yang berdiri di samping Selene, hanya mendengus kecil. “Atau mungkin kau hanya ingin terlihat lebih misterius.”

Selene meliriknya dengan seringai jahil. “Kau bisa berpikir begitu kalau itu membuatmu nyaman.”

Sebelum Dariel bisa membalas, suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar dari arah jalanan berbatu. Seorang pria dengan jubah Assassin berwarna gelap berlari ke arah mereka, napasnya tersengal. Itu adalah Calem.

“Dariel!” serunya. “Aku ikut.”

Dariel mengangkat alis. “Ikut ke mana?”

“Ke ibu kota Thalvinar.” Calem menatapnya dengan tekad membara. “Aku tahu kau memburu Tharvion. Aku tidak bisa diam saja di sini sementara perang besar terjadi. Aku harus ikut bertarung.”

Dariel menatap Calem dalam diam sejenak. Ia mengenal pria itu cukup baik di Harimau Rimba sebagai salah satu Assassin yang gesit dan cekatan. Kehadirannya bisa menjadi aset berharga.

Kaelen, yang bersandar di tiang kapal, menyilangkan tangan di dada. “Lebih banyak orang berarti lebih besar risiko ketahuan. Kau yakin bisa mengikuti tempo kami?”

Calem menyeringai. “Aku lebih dari siap.”

Selene menepuk pundak Dariel. “Jadi bagaimana? Kita tak punya banyak waktu. Perang sudah meletus di ibu kota, dan kalau kita tidak bergerak sekarang, Thalvinar bisa menjadi benteng tak tertembus.”

Lihat selengkapnya