Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #44

Amukan Lautan #44

Hujan mengguyur geladak kapal dengan ganas, menciptakan suara gemuruh saat air menghantam kayu. Angin menderu, mengguncang kapal dengan kekuatan brutal, seolah-olah ingin merobek layar dan menghancurkan tiang-tiangnya. Ombak setinggi menara terus menerjang, membuat kapal seperti sekeping kayu rapuh yang terombang-ambing di tengah lautan liar.

Di tengah kekacauan itu, Calem, pemegang kendali kapal, berdiri kokoh di belakang kemudi. Tubuhnya basah kuyup, tetapi matanya tetap tajam, menembus badai yang semakin menggila. Tangan kekarnya mencengkeram roda kemudi dengan kuat, sementara seluruh tubuhnya tegang, berusaha mempertahankan keseimbangan kapal agar tidak terhempas ke dalam pusaran ombak.

Selene berteriak dari dek bawah, "Calem! Kita kehilangan arah!"

Calem menggertakkan giginya, tangannya terasa mati rasa karena dingin dan tenaga yang ia keluarkan untuk mengendalikan kapal. "Aku tahu! Tapi jika kita membiarkan kapal terseret arus, kita akan hancur!"

Petir menyambar di kejauhan, menciptakan siluet mengerikan dari gelombang raksasa yang akan segera menghantam. Calem menarik napas dalam, lalu memutar kemudi dengan seluruh kekuatannya, mencoba mengubah arah kapal sebelum ombak itu menghantam mereka dari samping.

"PEGANGAN!!" teriaknya, sebelum ombak menghantam kapal dengan kekuatan dahsyat.

Gelombang itu mengguncang kapal dengan keras. Seorang kru terlempar ke geladak, menghantam pagar kayu dengan suara berdebam.

Angin semakin menggila, membuat kapal berputar ke samping. Selene akhirnya mengambil keputusan.

"Tarik layar! Sekarang!"

Para kru segera bekerja sama menarik layar agar kapal tidak terseret lebih jauh oleh angin. Tapi sebelum mereka sempat menyelesaikannya, sebuah gelombang besar datang lagi, menghantam kapal dari sisi kanan.

Salah satu kru tidak sempat berpegangan dan langsung terpental ke laut.

"Sial!" Selene mengutuk, matanya mencari sosok kru yang jatuh.

Kaelen segera melompat ke sisi kapal, mencoba melihat keberadaan orang itu. "Aku tidak melihatnya! Arusnya terlalu kuat!"

Dariel mengepalkan tangannya. Tidak ada yang bisa mereka lakukan jika seseorang sudah terseret ke dalam badai seperti ini. Lautan bukanlah musuh yang bisa mereka lawan dengan pedang atau sihir.

"Semua tetap di posisi masing-masing!" Selene kembali berteriak, suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh badai.

Kapal terus berjuang melewati ombak besar. Setiap menit terasa seperti pertarungan untuk bertahan hidup. Hujan mulai turun, menambah kekacauan di atas dek. Kayu kapal menjadi licin, membuat setiap langkah berisiko terpeleset.

Calem tetap berdiri di dekat kemudi, mencoba mengendalikan arah kapal. Matanya menatap jauh ke depan, mencari jalan keluar dari badai ini.

Hujan semakin deras, tetapi perlahan angin mulai mereda. Ombak yang semula seperti dinding kini mulai mengecil, meskipun masih berbahaya.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, kapal berhasil keluar dari jalur badai. Langit masih gelap, tetapi angin tidak lagi menggila.

Calem melepaskan napas panjang, tangannya masih mencengkeram kemudi dengan erat. Perlahan, ia melonggarkan genggamannya, merasakan betapa kaku jari-jarinya setelah berjuang melawan alam.

Selene mendekatinya, matanya penuh penghormatan. "Kau baru saja menyelamatkan kita semua."

Calem hanya mengangkat bahu, masih terengah-engah. "Kapal ini belum tenggelam… itu sudah cukup."

Selene berjalan mendekati Calem yang masih memegang kemudi, napasnya berat, tubuhnya basah kuyup. Ia menatap langit yang masih kelabu, lalu menoleh ke Dariel dan Kaelen dengan ekspresi datar, sebelum akhirnya menyeringai.

"Kalian tahu?" katanya sambil merapikan rambut hitam basahnya. "Aku sudah membayangkan segala macam cara mati di dunia ini. Ditebas musuh, dipenggal algojo, dikhianati teman sendiri, tapi tenggelam di tengah badai? Itu mati konyol namanya."

Lihat selengkapnya