Angin malam membawa hawa tegang ke dalam barisan pasukan penyihir yang berjaga di balik barikade batu raksasa dekat benteng Thalvinar. Mereka sudah berhari-hari menahan serangan dari para Assassin yang terus berusaha menembus kota. Meski Assassin mulai melemah dan mundur ke dalam hutan, pasukan penyihir masih bersiaga penuh.
Namun malam ini terasa aneh. Hening.
Salah satu penyihir, seorang pria bertubuh kurus dengan jubah biru tua, menyipitkan mata ke arah laut. Ombak memecah karang di kejauhan, dan siluet kapal-kapal terlihat samar.
"Terlalu tenang..." gumamnya.
Di sebelahnya, seorang penyihir lain dengan mata menyala keunguan menimpali, "Jangan paranoid. Para Assassin sudah mundur. Kita hanya perlu berjaga-jaga kalau mereka mencoba menyusup kembali."
Pria pertama mengangguk, namun hatinya masih gelisah. Ia memejamkan mata dan mencoba merasakan energi sihir di sekelilingnya, namun tak ada tanda-tanda apapun.
Sesuatu bergerak...
Cepat... besar... datang dari atas...
Matanya terbuka lebar. Wajahnya memucat.
"DARI LANGIT!"
BOOM!!
Sebuah batu raksasa yang menyala merah menghantam tanah hanya beberapa meter dari tempat mereka berdiri. Api menyebar, melahap tanah dan menerangi kegelapan malam.
Beberapa penyihir terlempar ke belakang karena guncangan, tubuh mereka terbakar. Jeritan kesakitan menggema.
Lalu, sebelum mereka sempat memahami apa yang terjadi, batu api lainnya meluncur dari langit.
Disusul yang lain.
Dan yang lain.
Langit yang tadinya gelap kini dihujani cahaya merah menyala.
Salah satu penyihir berteriak, "SERANGAN!! KITA DISERANG DARI ARAH PANTAI!!"
Mereka berusaha membentuk barikade pelindung dengan sihir, namun kekuatan benturan dari batu-batu besar yang diluncurkan terlalu kuat.
Salah satu penyihir tingkat tinggi, seorang wanita dengan jubah hitam beraksen perak, mengangkat tangannya tinggi. Gumpalan sihir biru terbentuk, menciptakan perisai transparan yang melindungi sebagian pasukan.
Namun ketika batu berikutnya datang, perisai itu pecah seperti kaca.
Penyihir wanita itu terpental ke belakang dan menghantam dinding batu. Darah mengalir dari kepalanya.
"HAHAHAHA!! LIHAT ITU!!"
Jarl Hrothgar tertawa keras melihat pasukan penyihir kalang kabut di pantai. Tangannya menggenggam erat kemudi kapal sementara angin laut meniup jubah bulunya yang berat.
Di sampingnya, Rovan menyipitkan mata, menatap kehancuran di garis pantai.
"Sempurna..." katanya, suara puas bercampur kelelahan.
Seorang prajurit Viking menepuk pundaknya keras.
"Alat pelempar batumu ini luar biasa, dwarf!"
Rovan hanya mendengus. Ia menyeka keringat di dahinya, lalu memperhatikan catapult di atas dek kapal. Masing-masing kapal besar memiliki alat pelempar raksasa itu, dengan tali-tali kuat dan lengan kayu besar yang digunakan untuk melontarkan batu api ke daratan.
Salah satu prajurit Viking yang bertugas sebagai operator catapult berteriak, "Muatkan batu lagi!!"
Beberapa orang lainnya mengangkat sebuah batu raksasa yang telah diselimuti lapisan minyak dan diikat dengan kain, lalu menyulutnya dengan obor.
Api langsung menyala terang.
Dengan sekali tarikan tuas, batu api kembali melesat ke arah benteng. Benteng yang tadinya kokoh mulai terlihat rapuh.