Kaedric berdiri di hadapannya, tatapan matanya yang hitam pekat penuh dengan rasa kemenangan.
“Kau sangat beruntung, Dariel.” Suara Kaedric terdengar datar, tetapi mengandung ejekan halus. “Aku bisa saja membunuhmu di sini dan sekarang, tetapi aku ingin melihatmu hidup… Aku ingin kau menyaksikan dunia yang kau perjuangkan ini jatuh ke dalam kehancuran.”
Dariel menggeram pelan, matanya yang dipenuhi amarah menatap Kaedric dengan tajam.
Kaedric tertawa kecil. “Jangan lihat aku seperti itu. Aku hanya menunjukkan sedikit belas kasihan.” Ia mengangkat kepalanya, menatap langit yang mulai dipenuhi dengan retakan distorsi sihir. “Aku sudah menghancurkan Sacred Artifact. Tidak ada lagi yang bisa menghentikan kehancuran ini.”
Dariel mencoba mengatur napasnya, menahan rasa sakit luar biasa yang menjalar dari bahunya. “Keparat…” katanya dengan suara serak.
Kaedric mengabaikan kata-kata itu. Ia melanjutkan, “Distorsi sihir akan pecah secara penuh dalam waktu dekat. Namun, pusat kehancuran tidak akan terjadi di sini.”
Kaedric menoleh ke arah Dariel, seolah ingin melihat reaksinya. “Distorsi sihir akan pecah di Zaharam.”
Dariel mengerjap. “Zaharam…?”
“Ya.” Kaedric tersenyum tipis. “Daerah yang berada jauh di timur, tanah gersang yang menyimpan banyak misteri dan kekuatan tersembunyi.”
Dariel menggertakkan giginya. Zaharam bukanlah daerah biasa. Tempat itu dikenal sebagai tanah di mana para penyihir kuno pernah membangun peradaban mereka, tempat yang dihuni oleh banyak rahasia yang telah lama hilang ditelan waktu. Jika distorsi sihir benar-benar pecah di sana, dampaknya akan sangat mengerikan.
Kaedric berbalik, langkahnya santai seperti biasa. “Aku akan pergi sekarang. Aku punya urusan yang lebih penting.”
Ia berjalan menjauh, tetapi sebelum ia menghilang ke dalam kegelapan, ia melemparkan sesuatu ke tanah. Dua benda bundar yang bergulir beberapa kali sebelum akhirnya berhenti tepat di depan Dariel.
Dariel mengalihkan pandangannya ke arah benda tersebut.
Dan saat ia menyadari apa itu…
Dunia seakan berhenti berputar.
Dua kepala yang sudah tak lagi memiliki tubuh, mata mereka masih terbuka, seakan menyiratkan keterkejutan dan ketidakpercayaan.
Wira dan Adra.
Mata Dariel membelalak. Seluruh tubuhnya menegang. Darah yang sebelumnya mengucur dari lengannya kini terasa tak ada artinya dibandingkan rasa nyeri yang menghantam dadanya.
“…Tidak…” Dariel berbisik.
Mata Wira yang biasanya penuh dengan keceriaan kini kosong, tak bernyawa. Adra yang selalu tersenyum kini hanya diam dalam keheningan abadi.
Kaedric, yang kini sudah berdiri beberapa langkah di kejauhan, hanya tertawa kecil. “Mereka berdua mencariku, mencoba menghentikanku. Sayangnya, mereka bukan tandinganku.”
Dariel mengepalkan tinjunya. Tidak bisa berkata apa-apa. Ingatan itu kembali terputar di kepalanya, Wira dan Adra pernah berkata bahwa mereka akan memburu Kaedric, sementara Dariel harus berkonsentrasi menghadapi perang dengan Tharvion.
Dan kini… mereka telah mati.
Kaedric menghela napas seolah bosan. “Sayang sekali, kan? Tapi setidaknya, mereka mati dengan keyakinan mereka sendiri.”
Saat itu, sesuatu dalam diri Dariel hancur.
Dengan sekuat tenaga, ia berusaha berdiri meskipun tubuhnya hampir kehabisan darah.
Namun, saat ia mengangkat wajahnya, Kaedric telah menghilang.
Hanya tersisa reruntuhan istana, darah yang menggenang di lantai, dan dua kepala sahabatnya yang kini tergeletak di hadapannya.
Dariel terhuyung, jatuh ke tanah. Pandangannya mulai kabur.
Ia menatap wajah Wira dan Adra.