Assassins Journey : Blade Of Vengeance

Rivandra Arcana
Chapter #53

Sang Ratu Freedoa #53

Mereka terus berjalan menyusuri jalanan berbatu di ibu kota Freedoa yang masih dalam tahap pembangunan ulang. Bangunan-bangunan baru berdiri kokoh menggantikan reruntuhan Thalvinar yang lama. Para pekerja tampak sibuk membangun rumah dan benteng pertahanan, sementara beberapa penjaga berpatroli, mengenakan seragam baru yang tidak lagi membawa lambang Thalvinar, melainkan simbol baru yang mewakili kebebasan.

Di samping Dariel, Aika berjalan dengan tenang, seperti biasa dengan ekspresinya yang datar dan suaranya yang lembut namun penuh ketegasan.

“Aku tahu kau masih memikirkan Kaedric,” kata Aika tiba-tiba, matanya lurus ke depan.

Dariel menghela napas. “Sulit untuk tidak memikirkannya, mengingat semua yang sudah terjadi.”

Aika mengangguk pelan. “Aku mengerti. Tapi, untuk saat ini, ada hal lain yang lebih penting. Kau harus melihat ke depan.”

Dariel menoleh padanya dengan alis sedikit berkerut. “Apa maksudmu?”

Aika berhenti sejenak, lalu mengayunkan tangannya ke sekitar kota. “Freedoa berkembang dengan cepat. Bahkan dalam enam bulan terakhir, sistem pertahanannya sudah terbentuk dengan baik.”

Dariel menatap sekeliling. Memang benar, meski baru berdiri, Freedoa tidak tampak seperti kerajaan yang baru saja terbentuk. Kota ini memiliki tatanan yang lebih terorganisir daripada Thalvinar dulu.

“Freedoa tidak mengandalkan militer seperti kerajaan lain,” lanjut Aika. “Sebagai gantinya, mereka menggunakan sistem guild.”

Dariel cukup terkejut mendengar itu. “Guild? Secepat itu?”

Aika mengangguk. “Ya. Dalam enam bulan ini, sudah ada enam guild yang beroperasi di bawah Freedoa.”

Dariel terdiam, mendengarkan dengan saksama.

“Lima dari enam guild itu terdiri dari penyihir, masing-masing memiliki spesialisasi berbeda,” lanjut Aika. “Namun, ada satu guild yang berfokus pada pertahanan laut, dan aku yakin kau bisa menebak siapa pemimpinnya.”

Dariel tersenyum kecil. “Selene.”

“Benar.” Aika mengangguk. “Guild itu dinamai Black Flag. Mereka bertanggung jawab atas pertahanan laut dan jalur perdagangan Freedoa. Kaelen menjadi wakil pemimpinnya.”

Dariel tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Dalam waktu singkat, Freedoa berhasil menciptakan sistem pertahanan yang kuat.

“Bukan hanya itu,” Aika melanjutkan. “Freedoa juga sudah memiliki akademi sihir dan pertahanan. Tidak hanya penyihir yang belajar di sana, tetapi juga orang-orang tanpa sihir, mereka bisa menjadi prajurit, peneliti, atau teknisi seperti Rovan.”

Mendengar nama Rovan, Dariel teringat sahabatnya yang kini kehilangan satu mata akibat pertempuran. Meski begitu, Rovan tetap bertahan dan terus mengembangkan teknologi di dunia ini.

Aika berhenti berjalan dan menatap Dariel dengan serius.

“Aku tahu apa yang ada di pikiranmu, Dariel,” katanya pelan. “Kau ingin pergi memburu Kaedric.”

Dariel tidak menyangkal.

“Tapi aku menyarankan kau tidak melakukan itu.”

Dariel menatapnya, menunggu alasan yang akan Aika berikan.

“Aku khawatir,” lanjut Aika, suaranya sedikit melembut. “Kau sudah kehilangan satu lengan. Kau bukan lagi orang yang sama seperti dulu. Kaedric bukan lawan yang bisa kau hadapi sendirian.”

Dariel mengepalkan tangannya yang tersisa. Ia tahu Aika ada benarnya, tapi bagian dalam dirinya masih dipenuhi dengan keinginan untuk menuntaskan dendamnya.

“Apa kau ingin mati sia-sia?” Aika bertanya, kali ini suaranya lebih dingin.

Dariel terdiam.

Aika menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan nada yang lebih lembut, “Dariel, kau sudah bertarung cukup lama. Kau kehilangan banyak hal… teman-temanmu, lenganmu… Kau tidak harus kehilangan lebih banyak lagi.”

Untuk pertama kalinya, Dariel melihat kekhawatiran di wajah Aika.

“Lalu, apa yang kau sarankan?” tanyanya akhirnya.

Lihat selengkapnya