Assimilation Halley

astreilla
Chapter #2

di tepi keramaian


Detik itu aku sadar, semua kenyataan yang kutahu ternyata kebohongan. Mereka bilang, di dunia yang sudah jadi seperti ini, kau bahkan tidak boleh mempercayai apa yang kau lihat dengan mata kepala sendiri. Saat kutanya balik apa yang harus aku percayai, mereka menjawab ‘Tidak ada, curigai semuanya.’

-Tahun tidak diketahui

Rekaman monolog penyihir Bintang Jatuh

***

Bohong besar kalau aku mengaku tidak panik. 

Aku pernah mengalami banyak, banyak sekali hal mengerikan sampai mengancam nyawa. Tetapi belum pernah aku panik gara-gara sebuah nama. Diskon besar-besaran dari mananya? Apa orang ini menganggapku gampangan? Mudah ditipu? Naif parah? Kalau iya, dia salah besar.

“Ini syarat terburuk yang pernah kudengar.” Aku menatap lurus pada lukisan di topengnya, lalu tertawa. “Ayolah, kau serius mengira aku akan terjebak dan memberitahu namaku semudah ini?”

Seharusnya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bagi penyihir, nama adalah hal yang hampir sama berharganya dengan seluruh harta yang kau miliki di masa lalu, sekarang, dan yang akan datang. Misalnya begini, andai seseorang memperoleh namamu, maka tak ada lagi ‘dirimu’. Nasibmu sudah berakhir. Hidup yang kau tahu sedang akan disusun ulang diluar kendalimu.

Si penyihir bertopeng tidak menggubris candaan garingku dan justru memperbaiki posisi duduknya, “Apakah itu pertanyaan lain yang kau harapkan jawabannya?”

“Bukan, dungu. Dan sejak kapan kau bicara informal? Aku ini pelanggan.,” tukasku hanya karena ingin. Bukannya aku betul-betul peduli dengan formalitas.

“Aku serius, pertanyaan ‘tertua’ ditukar hanya dengan nama. Bukankah itu adil?”

“Mungkin ada yang salah dengan kepalamu. Aku tak butuh jawaban lagi, terima kasih.” Aku berdiri dan bersiap-siap akan pergi ketika sebuah tangan dingin yang menahan pergelanganku.

Aku menatapnya, topengnya yang masih sama-sama saja, tudung jubahnya yang jatuh, kursi yang terdorong ke belakang karena ia tiba-tiba berdiri, dan tangannya di tanganku. Aku saja heran bagaimana emosiku tidak langsung meledak setelah mengingat labilnya keadaanku akhir-akhir ini. Jadi aku bertanya dengan suara tenang yang seperti bukan aku, “Ada apa lagi?”

“Aku tahu jawaban pertanyaan itu, dan sejuta lainnya yang kau ingin tahu. Meski begitu, kau akan tetap pergi?”

Takjub, aku mendongak padanya. “Kenapa denganmu? Depresi karena tidak dapat pelanggan semalaman? Tenanglah, kau bisa pergi ke tenda ahli psikis dua belokan dari sini.”

Lihat selengkapnya