Assimilation Halley

astreilla
Chapter #3

di tengah percakapan

Yang membantu keberlangsungan peradaban manusia, adalah musuh mereka saat ini. Tentu, mereka tidak tahu. Jika hal ini diberitahukan, aku ragu mereka percaya.

-Tahun 2 A.A

Rekaman monolog penyihir bintang jatuh

***

Sebenarnya ini adalah ketiga kalinya aku terbangun di aula matahari. Yang pertama, yah aku tak akan memberitahu sekarang. Yang kedua kali terjadi sepuluh tahun lalu, saat misi yang kujalankan berjalan sangat buruk—tentu saja, aku mati— dan diselamatkan oleh si vampir. Kalau kubilang vampir tentu saja yang kumaksud adalah si vampir yang sama yang baru saja menyelamatkanku.

Aula matahari ini terletak di dunia bawah, dan satu-satunya bangunan yang memiliki seberkas cahaya matahari, maka diberi nama demikian. Para vampir terkadang punya gaya penamaan yang humoris. Karena dunia atas juga memiliki aula matahari milik Kaisar Penyihir, kebanyakan para vampir tidak terlalu senang. Aula matahari dii bawah sini dibangun dengan megah dan elok dari masa sebelum peradaban manusia.

Karena beberapa kejadian di masa lalu, aku menjalin hubungan baik dengan kerajaan para vampir dan dari waktu ke waktu mereka mengulurkan bantuan untukku, seperti sekarang. Saat seorang penyihir mati, biasanya ada dua pilihan untuk hidup kembali. Penyihir lain harus mengangkut jasad mereka ke ahli perbaikan, atau dibangkitkan dalam wujud undead oleh nekromanser. Tentu, pilihan kedua agak unik dan jarang direkomendasikan kecuali tubuhmu benar-benar tak bisa diperbaiki lagi. Dalam kasus seperti tenggelam dalam lava, atau hanyut ke palung dalam dan hancur oleh tekanan air, pilihanmu hanya bangkit menjadi undead.

Sebagai penyihir yang cukup beruntung (ya, aku menyebutnya begitu) bisa berkenalan dengan pangeran vampir dan membuat dia berhutang budi, aku punya pilihan ketiga. Setelah berpuluh tahun aku sudah mengembangkan perasaan benci-cinta dengan nasibku yang satu ini. Berkat peristiwa yang ditakdirkan aku memperoleh privilege yang tak bisa dibayangkan penyihir manapun. Di sisi lain, kerugiannya juga setimpal. Intinya, para vampir punya cara sendiri untuk membangkitkan yang sudah mati. Aku tidak punya akses penuh tentang bagaimana caranya, tapi mengingat ini ketiga kalinya aku dibangkitkan di aula matahari aku jadi tahu beberapa hal. Aku pasti bodoh sekali kalau belum tahu apa-apa tentang mekanisme mereka setelah semuanya.

Si vampir sialan itu pernah bilang satu hal penting, “Jangan coba-coba intip peti yang lain setelah kau bangun.”

Aku langsung melanggarnya. Tentu, tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya, tapi mau bagaimana lagi? Peti-peti itu transparan. Apa salahnya kalau mengintip sedikit? Lagipula, yang didalamnya hanya wajah-wajah tak kukenal. Namun yang mengejutkan adalah, seluruh peti kaca di sini sudah terisi. Hanya milikku yang kosong, dan aku bangkit di peti yang sama setiap kalinya. 

Pernah aku merasa ingin menanyakan soal ini ke para vampir, tapi rasanya serba salah jadi aku belum pernah melakukannya. Untuk sekarang aku yakin bahwa yang spesial dari metode pembangkitan ini bukan kekuatan vampir atau apa, melainkan sihir dari dalam petinya sendiri. Mereka hanya bermurah hati meminjamkanku peti yang kosong sekali-kali. 

Kalau begitu, tersisa satu pertanyaan. Setiap aku mengecek, isi seluruh peti masih sama. Kenapa semua sosok di dalan peti yang lain tak pernah bangun?  Kenapa sihir dari peti ini tak kunjung membangkitkan mereka? Jika ada yang tahu jawaban ini, aku merasa para penyihir bertopeng itu salah satunya.

Dan bicara tentang sosok di dalam peti, laki-laki yang tidur di seberang tempatku, di kiri singgasana, memiliki wajah yang sangat tampan. Kali ini pun aku melihat wajahnya lagi sebelum keluar. Seperti bunga yang beku, keindahannya tak pernah luntur oleh waktu. Dibandingkan dengannya, kondisiku saat dibangkitkan terlalu mengerikan. Bibir pecah-pecah, kulit kering dan putih pucat dari kepala sampai kaki seperti mayat hidup (yang memang lumayan benar).

Dengan tenaga pas-pasan, aku membuka grendel pintu di balik kursi singgasana, jalan keluar satu-satunya dari aula ini. Dan yang menungguku di balik pintu, tentu sudah bisa ditebak. Tapi alasal dia berada di situ, aku tak punya ide sama sekali.

“Gilda,” panggilku. “Aku ingat pernah mengalami adegan semacam ini terakhir kali. Apa yang kau lakukan?”

Gilda, si vampir sialan, berdecak kesal. “Menjaga pintu,” 

“Oh,”

Aku menatapnya lamat-lamat, yah untuk orang yang selalu memusuhiku sejak awal bertemu, perilakunya sekarang cukup lembek. Dan lagi, dia sudah menyelamatkanku. Berkali-kali. Meski hanya untuk membalas budi, perbuatannya sangat baik.

“Terima kasih banyak. Kukira aku akan mati sungguhan.”

“Aku menyesal. Aku lebih suka kau mati dan tidak merepotkan aku lagi.”

“Astaga!” Aku berlagak tersinggung. “Perkataanmu itu jahat sekali, dan tidak sesuai fakta.”

Gilda mengernyit, lalu berjalan mengabaikanku. Sumpah, vampir ini.

“Aku tidak pernah memintamu, ingat? Setiap kali kau repot-repot membantu sendirian, aku tak pernah minta. Tentu saja, aku berterima kasih. Tapi kalau di ungkit-ungkit seperti ini rasanya bagaimana ya? Seolah aku yang salah! Padahal itu inisiatif kau sendiri.”

Lihat selengkapnya