Dekade berlalu menandakan purnanya zaman keemasan penyihir. Bintang-bintang bersinar di langit dan manusia masih memalingkan pandang darinya. Rekan-rekan yang kukenal mulai jatuh satu persatu. Tugas kami selesai, kata mereka. Biarkan kami istirahat.
-Tahun 10 A.A
Rekaman monolog penyihir bintang jatuh
***
Itu terjadi di masa lalu yang sangat-sangat jauh.
Gilda pergi keluar tanpa tujuan jelas untuk pertama kali. Tahu-tahu ia terjebak dalam situasi aneh yang membuatnya terkurung dalam sel bersama seorang gadis yang tak bergeming. Tentu, dia bisa saja segera kabur, tidak banyak yang bisa benar-benar menahannya di dunia ini. Akan tetapi terlintas pikiran bahwa keadaan saat ini tidak buruk untuk sekadar perubahan suasana. Malah, tepat seperti yang dia mau.
Maka ia menetap di sana dalam diam. Paling tidak, kelihatannya begitu. Terkadang kalau ia sungguh-sungguh, pikiran manusia tampak jelas baginya. Dan gadis yang berbagi sel dengannya terus-terusan menggumamkan hal yang sama di kepalanya. Tepatnya, ia seperti orang tak waras yang hanya mengulang kata-kata tanpa arti. Karena kegiatannya itu, ia tampak belum sadar situasi macam apa yang menimpanya.
“Kelipatan tiga, bukan, lebih pas kalau disebut mengandung angka tiga. Aku lupa yang pertama bagaimana, tapi dia adalah orang ketiga yang ditemui, dan hal-hal penting yang berhubungan dengan dia terjadi setiap angka tiga muncul. Aku baru mencatat mulai dari seratus tiga tiga. Seratus tiga empat bisa jadi juga termasuk, karena terdapat angka tiga di sana.”
Gilda mengusap rambutnya tak habis pikir, ia menyerah menebak-nebak konteks pikiran yang meluap-luap dari gadis itu. Yang mengherankan, ketika ia berhenti berusaha memahami kata-kata tadi, menyimaknya terasa lebih menyenangkan.
“Memang, meski tiga adalah angka penting, tidak semua yang memiliki angka tiga memiliki ‘isi’ yang selalu terhubung. Aku tahu kalau harus fokus di bagian yang penting-penting saja, tapi bagaimana kalau aku lupa? Sebentar, kuulang lagi: seratus tiga tiga, seratus tiga empat, seratus enam satu, dua ratus, dua ratus tiga puluh.”
“Bukankah seratus enam satu dan dua ratus tidak mengandung angka tiga?” Gilda menyeletuk keras-keras. Ia segera menyesalinya begitu tersadar.
Namun gadis itu, bola matanya yang berwarna seperti lembayung senja—ungu keemasan— menatapnya seolah baru sadar. Dari pandangan itu saja Gilda bisa melihat sepercik kemarahan karena diganggu, lalu berubah menjadi rasa terkejut dan penasaran.
Ia menyaksikan keingintahuan gadis itu menang dari yang lain dan ia mengucapkan kalimat pertamanya setelah berjam-jam terperangkap di ruang sempit yang sama.
“Kau benar, aku kira kuncinya adalah angka tiga, tentu sekarang pun aku masih berpikir begitu, tapi bagaimana cara menjelaskan fenomena seratus enam satu dan dua ratus? Kenapa mereka tergolong penting meski tak memiliki angka tiga?”
“Enam dari seratus enam satu merupakan kelipatan tiga, apa itu tidak termasuk?”
Gadis itu mengerjap beberapa kali, “Ya, benar juga. Kelipatan tiga. Tapi bagaimana dengan yang dua ratus?”
“Coba dilihat lagi dari isinya, apa yang membuat seratus enam satu dan dua ratus berbeda dari yang lain?” usul Gilda.
Sejujurnya Gilda ingin menyergah kasar dan bilang ‘apa peduliku?’ karena entah bagaimana ia telah ditarik masuk ke dalam diskusi tanpa arti ini. Tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokan, tak mau keluar.
“Benar, aku harus mengecek lagi. Di mana buku catatanku?” Gadis itu mengecek samping kanan dan kirinya, mengangkat jubah perjalanannya, meraba-raba seluruh tubuh lalu menatap Gilda dan seluruh sel penjara yang menahan mereka berdua.
“Siapa kau?” tanyanya.
“Kau baru penasaran sekarang? Kita sudah berjam-jam di sini, tahu.”
Mata gadis itu membulat, “Tapi, bagaimana bisa? Seingatku aku dalam perjalanan menuju perpustakaan negara...”
“Pasti kau diculik dalam perjalanan,” simpul Gilda, karena itu juga yang terjadi padanya.
“Jadi kau juga diculik?”