Lagu “The Music of the Night” dari Andrew Lloyd Webber mengalun lembut, menambah kesan damai di ruangan tersebut. Embusan angin yang menggerakkan ranting dan dedaunan terdengar dari salah satu jendela yang terbuka lebar, mempersilakan semilir angin masuk dengan bebas.
Pekarangan rumah bercat putih itu terlihat tenang. Seolah tak ada penghuni di sana. Namun, nyatanya, seorang cowok tengah asyik menjelajahi alam mimpi di salah satu ruangan rumah tersebut. Dia terlihat nyenyak tidur telentang dengan satu lengan menutupi mata. Tak ada suara dengkuran dari cowok itu. Yang ada hanyalah deruan napas teratur.
Cowok itu menghela napas pelan ketika terbangun. Dia menegakkan punggung, mengacak rambutnya, lalu bangkit berdiri. Sambil mengusap tengkuk, dia membuka pintu dan segera keluar dari kamar.
Dengan malas, dia melangkah menuruni anak tangga menuju dapur. Membuka pintu kulkas, lalu mengambil sebotol air dingin dan langsung meneguknya. Dia membiarkan cairan dingin tersebut mengalir masuk melewati kerongkongan, membuat jakunnya naik-turun dengan suara tegukan yang khas.
Ting tong.
Dia mendengkus pelan tatkala mendengar suara bel rumahnya menggema. Siapa yang bertamu? Bukankah ini waktunya tidur siang? Cowok itu berjalan menuju pintu utama rumahnya. Siapa pun itu, pasti cuma orang yang kurang kerjaan dan tak tahu waktu untuk berkunjung.
“Apa kabs, Bro?” Sapaan tersebut segera menyambutnya ketika pintu terbuka. Walau belum dipersilakan masuk, kedua orang yang berdiri di luar langsung menyelonong dengan santai, membuat cowok itu kembali mendengkus kesal dan segera menutup pintu.
Dia berjalan mendekat, menaikkan satu alis. Sambil memasukkan tangan ke saku celana pendek selututnya, dia menatap kedua tamu tak diundang yang kini sibuk dengan kegiatan masing-masing.
“Lo pada ngapain ke sini?” Kening cowok itu tampak berkerut, memandang datar dua orang di hadapannya.
“Cuma mau infoin kalo Axel nantangin lo lagi. Gimana?” Salah seorang tamu, yang sedang memainkan ponselnya, berceletuk.
Decihan terdengar dari cowok itu. Perlahan seringaian tercetak jelas di bibirnya. “Kapan?”
“Hari ini jam 4.00 sore. Dekat lapangan tenis outdoor.”
Cowok lain, yang sedari tadi diam, angkat suara. “Cuma pancingan kecil, Ta. Nggak usah diladenin.”
“Asta mana mau diem kalo udah ditantang gitu,” sahut cowok yang memainkan ponselnya lagi. Sekilas dia menatap sahabatnya itu, lalu terkekeh pelan. “Udah, terima aja, Ta. Lagian kapan lagi bisa lihat si pengecut Axel,” tambahnya.
“Kok, gue kayak lagi dibisikin iblis sama malaikat, ya?” tanya Asta. Dia terkekeh seraya mulai meregangkan badannya yang terasa kaku.
Dia adalah Asta Luciano Arcano, sang pemilik rumah tersebut. Wajahnya dapat menarik hati kaum hawa. Namun, tak seorang pun dapat menebak jalan pikirannya. Termasuk kedua tamu tak diundang kali ini, yang selalu mengatakan bahwa mereka sahabatnya, yakni Liel dan Willi.
“Lapangan tenis dekat minimarket tempat lo pada nongkrong itu?”
Liel mengangguk tak acuh setelah melirik Asta. “Jangan lupa, hari ini.”
“Lo mau ke sana, Ta?” timpal Willi menanggapi, merasa heran dengan makhluk yang satu ini.
Asta mengangkat satu alisnya. “Kayak yang Liel bilang, kapan lagi gue bisa ketemu dia.”