"I really don't know if I would say you're mine."
Suara bel pertanda istirahat pertama terdengar nyaring hingga lantai tiga. Dan, inilah yang selalu ditunggu-tunggu seluruh pelajar selain bunyi bel pertanda pulang sekolah. Siswa-siswi SMA Xavier berhamburan ke luar kelas. Kebanyakan dari mereka menuju kantin untuk mengisi perut. Ada pula yang memilih menetap di kelas dan melakukan kegiatan masing-masing.
Nary menyimpan buku ekonomi ke dalam tas. Setelah itu, dia berbalik menatap Ayle, sahabatnya, yang masih sibuk merapikan bukunya.
“Ke kantin?” “Toilet dulu, ya? Gue udah kebelet banget, nih,” ujar Ayle.
“Ya udah. Ayo,” sahut Isil, yang sudah menunggu bersama Kiala.
Nary bangun dari tempat duduknya, lalu menghampiri Isil dan Kiala di ambang pintu. “Cepetan, Ay.”
Usai merapikan mejanya, Ayle berlari kecil menuju sahabat- sahabatnya. “Toilet dulu, kan?”
“Tadi, kan, udah dibilang iya.” Kiala mendengkus. Ayle menyengir, lalu berjalan lebih dahulu sambil merangkul lengan Kiala. Sementara itu, Nary bersama Isil melangkah di belakang mereka.
Nary menatap Isil, yang menyumbat telinganya dengan headset.
“Kenapa?” tanya Isil merasa diperhatikan.
“Cantik.” Isil menatap Nary dengan kerutan yang begitu jelas di keningnya. Ia masih bisa mendengar ucapan Nary karena volume lagunya tidak begitu besar. Senyuman langsung tercetak di bibirnya,
“Nggak usah muji-muji gitu. Tahu, kok, gue cantik.” Nary menggeleng,
“Maksud gue, headset lo cantik. Warnanya pink. Kan, gue suka ....” Mendengar itu, hati Isil mencelus. Ia membuang muka, enggan menatap Nary.
“Jahat banget, sih. Padahal gue udah fly,” gumamnya.
Hanya kekehan pelan yang terdengar dari Nary. Tiba-tiba, langkah Nary terhenti. Senyuman yang tadi menghiasi bibirnya pun luntur ketika seseorang melewatinya dari arah berlawanan.
Aroma itu ....
Nary berbalik ke belakang ketika mencium aroma yang terasa begitu familier. Matanya kini menangkap sosok laki- laki berpostur tinggi, dengan punggung lebar dan tegap, terus melangkah. Bahkan Nary tak sempat melihat wajah orang tersebut.
“Kayak kenal,” gumamnya terus menatap punggung laki-laki yang semakin menjauh itu. Namun, apa iya laki-laki itu orang yang sama? Bisa saja hanya aromanya yang kebetulan sama.
Seseorang memegang pundak Nary, membuatnya tersentak kaget.
“Kenapa lo?” Nary berbalik, lalu mengelus dadanya ketika mengetahui orang yang memegang pundaknya adalah Isil. Cewek itu menatapnya sambil menaikkan satu alis. “Enggak. Kiala sama Ayle mana?” celetuk Nary mengalihkan pembicaraan sambil mencari kedua sahabatnya di sekitar koridor.
Isil mengibaskan tangan pelan. “Lo kelamaan. Mereka berdua udah duluan ke toilet. Lo tadi kenapa berhenti?” Rupanya Isil penasaran.
“Tadi semut lewat, jadi gue berhenti bentar biar mereka bisa lewat dengan selamat.” Ucapan ngawur Nary berhasil membuat Isil menoyor kepala sahabatnya itu dengan gemas.
“Gue makan juga lo lama-lama.” Mendengar perkataan Isil, sontak Nary terbelalak kaget.
“L-lo kanibal, Sil?” Nary menutup mulut menggunakan telapak tangan, dengan mata masih melebar.
Isil mendengkus geli, lalu menatap Ayle dan Kiala yang berjalan menghampiri mereka.
“Kuy, ke kantin!”
Hanya derap langkah yang terdengar sepanjang koridor kelas XII.
Dengan sedikit ragu, Nary berhenti di depan kelas XII-MIPA 3.
Sebenarnya Nary enggan melangkahkan kaki ke area kelas XII.
Namun, dia diminta Ibu Gasri untuk memanggil kakak kelasnya yang bernama Radit.
Nary menarik napas dan mengembuskannya berulang-ulang untuk menghilangkan rasa gugup. Apalagi sekarang kegiatan belajar mengajar masih berlangsung. Pasti dia akan menjadi sorotan penghuni kelas tersebut.
Perlahan tangannya terangkat, mengetuk pintu kelas.
Beberapa pasang mata langsung menatapnya karena pintu kelas yang tidak tertutup. Nary menelan ludahnya kasar, lalu berusaha terlihat sesantai mungkin.
“Ya? Ada apa?” Suara Pak Haryo menyadarkan Nary dari kegugupannya.
Seulas senyuman ditampilkan Nary. “Permisi sebelumnya, Pak. Ibu Gasri meminta Kak Radit menghadap beliau sekarang.” Kelas itu pun langsung gaduh setelah Nary menyelesaikan kalimatnya.
“Rasain lu, Dit!”
“Gila! Lo ketangkep lagi?”
“Gue doain lo dari sini, Bro!”
“Semoga selamet, Dit!” “Betah, dah, tuh di ruang BK.” Suara penggaris besi yang dipukul ke papan tulis menginterupsi kegaduhan, diikuti suara Pak Haryo yang menggelegar. “Diam! Diam! Radit, sekarang temui Bu Gasri.”
Dari tempat duduk di deret paling belakang, seorang cowok dengan seragam yang masih tergolong rapi, lantas berdiri malas dan berjalan menghampiri Nary. Sedangkan gadis itu lagi- lagi menelan ludahnya kasar. Ekspresi cowok itu membuatnya merinding.
Cowok tersebut berjalan melewati Nary begitu saja. Nary pun menatap Pak Haryo sambil tersenyum kikuk. “Terima kasih.
Saya permisi dulu, Pak.” Setelahnya, dengan cepat Nary menyusul Radit. Dia belum memberi tahu di mana Bu Gasri berada.