KARYA : SWARADTRI
Malam itu hujan turun begitu deras disertai kilat dan angin yang kencang, sangat deras hingga mata tak mampu melihat lebih dari satu meter ke depan. Dukuh Senguana, Tertulis jelas di sebuah papan kayu besar yang terletak di pinggir jalan menuju sebuah desa. Di tengah hujan lebat itu seekor rubah bercorak aneh yang sedang memandangi papan tersebut dengan nafas yang terengah-engah menampakkan gigi taringnya yang tersembunyi di balik mulutnya yang panjang.
"Sepertinya aku yang pertama mencapai tempat ini, lebih baik aku menunggu yang lain di sekitar sini, jangan sampai ada orang yang memergokiku." Ucap rubah tersebut kepada dirinya sambil berlari mencari tempat persembunyian di dalam hutan.
Ditempat lain namun dengan kondisi cuaca yang sama, berjalan seorang pria tua sambil menggenggam sebuah kayu di tangan kanannya, berjalan sempoyongan perlahan menyusuri jalan setapak yang terbuat dari tanah. Hujan lebat itu menghambat jalannya yang sudah renta membuat langkahnya beberapa kali tergelincir karena tanah yang ia pijak terasa licin terkena air.
Sambil membawa sebuah tas gendong berwarna hijau tua yang sudah menemaninya sejak lama, dengan nafas yang tersengal-sengal pria tua itu terus saja berjalan setapak demi setapak menuju suatu tempat yang harus ia datangi, dengan sisa-sisa umur dan tenaganya yang sudah tak banyak lagi ia harus segera tiba di tempat tersebut. Di sebuah batu besar ia menyandarkan punggungnya beristirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga, tak lama setelah itu sebuah gerobak kereta kuda sedang melintas di hadapannya. Pria tua itu menyadari kehadiran kereta tersebut dan melambaikan tangan keriputnya untuk sekedar meminta tumpangan.
"Ma.. Maaf.. Bolehkah aku menumpang di kereta jerami mu?" Ucap pria tua itu kepada kusir yang berbadan besar dan mengenakan mantel dari kulit hewan.
"Kau mau kemana pak tua?" Tanya kusir berbadan besar itu.
"Eeeem... Aku hendak menuju sebuah desa yang bernama Senguana, apakah tempat itu masih sangat jauh?" Ucap pria tua itu menjelaskan.
"Kau memiliki tujuan yang sama denganku, namun perjalanan kita masih sekitar dua hari lagi dari sini dan aku tak punya mantel lagi selain yang kupakai ini, sedangkan dalam keretaku ini penuh dengan jerami, apa kau tak keberatan?"
"Terima kasih, yang ku butuhkan hanyalah tumpangan tidak lebih... Kebaikan hatimu sudah cukup untuk membuat ku hangat, di tengah hujan yang tak bersahabat ini." Jawab pria tua itu sambil tersenyum tanda terima kasih.
"Kau pak tua yang aneh...." seraya tersenyum.
Setelah pria tua itu menaiki kereta di bagian belakang, mereka berjalan kembali menyusuri jalanan yang licin akibat hujan.
Di Sebuah pagi yang cerah dimana embun masih membasahi dedaunan yang hijau, serangga-serangga masih mencari nektar dan merayap kesana-kemari, cahaya matahari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya. Hamparan sawah yang mulai menguning tanda kesuburan tanah di tempat itu tiada tara, bahkan apabila seseorang menanam sebuah kayu maka kayu tersebut akan tumbuh menjadi sebuah pohon. Di tepian sawah yang ditumbuhi rumput-rumput pendek sedang berbaring seorang anak laki-laki yang menikmati segarnya udara pagi.
Dia adalah Astara anak yang dilahirkan dalam keluarga sederhana, Ayahnya adalah seorang petani yang rajin luar biasa dan ibunya adalah wanita yang sangat penyayang. Astara adalah anak yang periang tumbuh sebagaimana mestinya anak laki-laki yang sehat. Biarpun dalam kondisi yang biasa-biasa saja namun kasih sayang dari kedua orang tuanya lah yang berperan penuh dalam pertumbuhannya.
Bulir padi tampak mulai menguning dan merunduk, pertanda musim panen akan segera tiba.
"Astaaar.... Pulang nak, hari sudah mulai gelap." Panggil sang ibu menyuruhnya untuk segera pulang dari bermain
"Iiiyaaaa... Buuuuuu...." Jawab Astara.
Dengan bergegas kaki kecilnya mulai berlari menuju rumah yang berada di sebuah kaki gunung, dikelilingi hutan yang lebat dan sungai-sungai kecil, pelataran tersebut sudah menjadi tempat bermain Astara sejak kecil.
Dari kejauhan Pak Sudia ayah Astara, sedang berjalan perlahan dengan mengenakan topi lebar dari anyaman bambu dan memanggul cangkul di bahu sebelah kirinya, kedua matanya tak lepas memperhatikan anak semata wayangnya berlari menuju rumah dimana sang ibu sedang menanti. Suasana senja itu begitu cerah tak terlihat awan sedikitpun, bulan sabit memancarkan cahaya redupnya memberikan kesempatan bagi bintang untuk bersinar menerangi malam.
JEDUUAAAARRRR.... GLUDUUR.... GRUUGRUUUGRUU....!!
Tiba-tiba suara guntur pecah dan bergemuruh dengan sangat kencangnya, membuat keluarga Pak Sudia terkejut bukan main. Tak ada hujan tak ada mendung bahkan tak ada angin yang membuat guntur itu harus bersuara sekencang itu. Tiba-tiba sepintas firasat aneh dirasakan oleh Ibu Iani ibu dari Astara, wajah dan matanya menampakkan raut yang tajam seperti sedang memikirkan sesuatu. Hal berbeda ditunjukan oleh anak dan suaminya, mereka terlihat biasa-biasa saja hanya merasa terkejut dengan suara guntur yang memekakan telinga, namun Ibu Iani merasakan aura yang berbeda seperti hal yang tak enak dan mengancam, perasaan yang tak mudah untuk diutarakan karena sebuah sebab.
Tak mau larut dalam firasat aneh tersebut Ibu Iani berusaha kembali untuk menikmati hidangan makan malam yang telah tersaji di meja makan.
Suatu sore yang teduh, Pak Sudia sedang berada di hutan untuk mencari kayu bakar dan berburu hewan kecil seperti kelinci, tupai dan juga unggas, tentu saja Astara ikut bersamanya, Mereka berdua berjalan melewati pepohonan yang tinggi dan menyusuri sungai-sungai kecil yang berair jernih dan juga dingin. Pak Sudia membawa kapak untuk memotong ranting dahan pohon kering dan juga menebang pohon yang sudah mati untuk dijadikan kayu bakar, Astara turut membantu ayahnya dengan memunguti ranting-ranting kecil yang terjatuh dan berserakan di tanah, ia mengumpulkannya menjadi satu di atas tali yang dibentangkan menyilang agar lebih mudah membawanya nanti. Di usianya yang ke-7 tahun Astara sudah terbiasa beraktivitas di hutan, anak kecil itu sudah paham dengan apa yang harus dilakukan dan disiapkan jika sedang mengambil kayu bakar, berburu atau sekedar mengambil buah. Bagaimana tidak, tempat tinggalnya di Dukuh Senguana masih dikelilingi hutan yang lebat.