KARYA : SWARADTRI
“Jedueeeer... Plaaat... Plaaat....”
kilat disertai guntur sedang mengamuk di atas langit Dukuh Senguana.
Sementara itu Astara dan kedua orang tuanya sedang berada di dalam rumah, menikmati hidangan makan malam yang telah disiapkan oleh Ibu Iani. Malam itu Ibu Iani terlihat tidak baik-baik saja, raut wajah dan gelagatnya tak mampu menyembunyikan perasaannya, ia merasa gusar dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia memiliki firasat bahwa sesuatu akan segera terjadi, sesuatu yang akan melanda keluarganya.
"Ada apa sayang? sedari pagi wajahmu begitu tegang." ucap pak Sudia dengan cemas.
"Untuk sesaat aku mengingat tentang ayah ku." jawab Ibu Iani singkat.
"Heeem… Mengenang orang yang telah tiada terkadang memang menyakitkan, karena rasa rindu tersebut tak dapat terbalaskan." kata Pak Sudia menenangkan istrinya.
"Yaaaah... Memang, maka dari itu terkadang perasaan ini membuatku tak nyaman." pungkas Ibu Iani kepada suaminya.
Malam Itu lampu minyak menyala terang menerangi seluruh sudut ruangan keluarga.
Dari balik pepohonan yang rimbun dan hujan lebat beserta petir, munculah sesosok pria tua yang berpakaian lusuh sambil membawa tas ransel dan tongkat besar di tangannya, sepatu yang terbuat dari kulit melindungi kedua kakinya yang kuat namun keriput itu, jubah coklat tua lusuh dan celana panjang menempel di tubuhnya, kumis yang menyatu dengan jenggot panjang berwarna putih menghiasi wajahnya yang terlihat kelelahan.
"Haaaah... Seperti biasa kamu sudah tiba lebih dulu Bago..." ucap pria tua itu sambil berjalan tertatih.
"Itu karena aku punya empat kaki..." jawab Bago.
Bago si rubah mulai menghampiri pria tua itu dan berusaha membantunya berjalan.
Sebelum hal tersebut terjadi, pria tua itu dengan kedua telapak tangannya yang menengadah mengarah ke rubah tersebut seolah mengisyaratkan "Aku bisa... Aku bisa..."
Bago yang paham maksud dari pria itu, akhirnya mundur secara perlahan dan berjalan lambat di sampingnya.
"Kamu sudah tua namun egomu masih saja tinggi yaah... Hahaha..." ucap Bago menyindir tuannya.
Pria tua itu tak menjawab sepatah kata pun, hanya tersenyum lebar.
"Heeeem.... Apakah kamu sudah mempersiapkannya." tanya Bago dengan suara yang pelan.
"Iyaaa... Sudaaah... Aku sudah mempersiapkan hati dan jiwaku akan hal ini, mungkin dari semua petualangan yang pernah kita lewati, bagian inilah yang menurutku paling rumit, namun aku berharap banyak pada anak itu." ucapnya antara yakin dan ragu.
"Apa kamu yakin, dia akan menerima apa yang kamu wariskan?" tanya Bago kepada Tuan Melory dengan serius.
"Heeem... Aku harap begitu..." jawab Tuan Melory itu dengan suara bergetar.
"Apaaa... Jadi kamu sendiri belum yakin akan hal itu, lalu bagaimana?" kata Bago dengan khawatir.
"Sesuai ramalan, dia akan siap jika saatnya telah tiba." sambil duduk beristirahat di atas gubuk di tengah sawah dengan nafas yang tersengal.
Mereka beristirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga, perjalanannya tinggal sedikit lagi untuk menuju titik terakhir terakhir yaitu rumah putrinya, Iani. Di Tengah cuaca yang tak bersahabat ini mereka berdua beristirahat di sebuah gubuk ditengah sawah.
"Kamu mau permen? ini aku ambil beli saat berada di desa hutan, Rasanya enak sekali." ucap Tuan Melory sambil menyodorkan tangannya kepada Bago.
"Ciiih... Disaat yang genting seperti ini kamu malah memberiku permen, apa kamu tak tahu betapa gentingnya situasi saat ini! Jika buku itu sampai jatuh ke tangan Duraka maka keberadaan ke 3 dunia bisa saja terancam." ucap Bago dengan sedikit emosi.
"Hahahaha... Kamu sama sekali tak berubah Bago, kamu adalah rubah yang pemberani dan juga setia, Sayang aku tak dapat lebih lama lagi bersamamu..." jawab Tuan Melory sambil sambil mengangkat tongkat di tangan kanannya.
Secercah cahaya biru muda terpancar dari ujung atas tongkat tersebut, dan seketika hujan badai itu reda seperti lenyap dan digantikan cahaya sinar bulan yang menerangi seluruh ladang, sawah dan hutan di sekitarnya.
"Sungguh indah ciptaan-Nya, cahaya bulan malam ini begitu terang Bago, apakah kamu tak melihatnya." ucap orang tua itu sambil mendongak keatas.
Sambil mengingat semua kejadian yang pernah dia lalui bersama dengan ketiga sahabatnya itu, banyak petualangan yang mereka lalui bersama, hingga di akhir usia Tuan Melory sebenarnya masih ingin melanjutkan petualangannya, namun semua itu tak dapat ia teruskan karena waktu hidupnya sudah tak lama lagi.
Dari terangnya sinar rembulan yang menghiasi malam itu, tiba-tiba sesosok makhluk muncul dari bayang-bayang malam disertai hembusan angin yang lembut. Kehadirannya membuat hati Tuan Melory merasa semakin lengkap.
"Hahaha... Akhirnya kamu tiba." ucap Tuan Melory sambil membuka kedua tangannya seraya memeluk.
Pelukan hangat mewarnai dinginnya di malam itu, sedikit demi sedikit kelompok mereka pun semakin lengkap.
"Tak kusangka waktu cepat berlalu, rasanya baru kemarin kita berjumpa dan memulai perjalanan, namun rupanya semua kebahagiaan itu tak akan bertahan selamanya." ucap Mercy dengan sedih.