KARYA : SWARADTRI
8 Tahun Berselang,
Di usianya yang telah menginjak 15 tahun, Astara telah tumbuh menjadi seorang anak remaja. Di siang yang cerah itu dia sedang membantu ayahnya di sawah seperti biasa, hari ini Pak Sudia sedang memanen hasil bumi dan Astara membantu ayahnya dengan memindahkan karung yang berisi padi yang belum dikupas ke dalam lumbung. Hingga sore menjelang Astara telah memindahkan lebih dari 30 karung biji padi dari sawah menuju lumbung yang terletak tak jauh dari rumahnya. Rasa lelah membuatnya ingin beristirahat sejenak, berbaring di pinggiran sawah bukanlah ide yang buruk sambil mengusap peluh di dahinya, ia memandangi langit yang mulai menguning diterpa cahaya matahari yang mulai bersembunyi di ufuk barat, cahaya itu sangat indah bak emas yang membentang sejauh mata memandang menaburi setiap benda yang diterjangnya, memberi warna yang menyilaukan mata.
Wajah anak itu hanya terpukau dan tersenyum sendirian melihat keindahan langit sore.
Keesokan harinya Astara kembali ke sawah bersama ayahnya, masih dengan pekerjaan yang sama sedari kemarin, memindahkan biji padi yang belum dikupas dari sawah menuju lumbung karena besok padi-padi itu akan ditumbuk untuk memisahkan antara kulit dan bijinya. Di tengah aktivitasnya Astara seperti mendengar suara bisikan dari arah hutan, tak jelas dan tak terdengar lantang membuat dia untuk sejenak menajamkan indera pendengarannya, namun tetap saja suara itu menghilang dan tak terdengar lagi.
Seusai membatu ayahnya, Astara menyempatkan diri untuk menuju sungai yang tak jauh dari lumbung tersebut, membasuh dan membersihkan tanah lumpur dan segala macam benda-benda yang menempel di tubuhnya.
Kreseeek ... Kreeeseeek ... Kreseeek ...
Terdengar suara gemerisik di antara rerumputan yang ada di seberang sungai.
Suara tersebut mengejutkan Astara yang sedang membersihkan tubuhnya, dengan tatapan yang tajam dan kewaspadaan anak itu mencoba mengamati tepi sungai yang tak begitu lebar, tatap mata dan pendengarannya tajam untuk mencari asal suara tersebut. Belum juga menemukan apa yang ia cari, Astara memutuskan untuk bergerak mendekati asal suara tersebut namun tetap saja ia tak menemukan apapun.
Malam itu Pak Sudia sedang bersantai di ruang tengah duduk di atas kursi jerami yang nyaman sekali, sedangkan Ibu Iani sedang menyiapkan makan malam di dapur yang juga masih satu tempat dengan ruang santai. Malam itu begitu sunyi tak ada kebisingan yang berarti di telinga, Astara sedang duduk di samping jendela kamarnya di lantai atas memandang keluar tak tentu arah, pikirannya sedang melamun dengan tatapan kosong, angin berhembus dengan lembut menyapu kulit dan rambutnya yang mulai memanjang. Malam itu bulan terlihat begitu besar cahaya yang abu-abu menenangkan setiap hati.
"Astaraaa... Sudah waktunya makan naaak..." teriak Ibu Iani dari bawah.
Dengan cepat anak itu turun dan tak lupa menutup kembali jendela kamarnya rapat-rapat, Malam itu keluarga Pak Sudia menghabiskan waktu bersama dalam suasana yang sederhana namun hangat, hari itu adalah hari istimewa bagi Astara di mana hari itu adalah hari ulang tahunnya yang ke 16. Ibu Iani telah menyiapkan hidangan spesial yaitu ayam panggang kesukaan anak semata wayangnya itu, dengan perasaan yang riuh dan gembira mereka menikmati hidangan yang telah disiapkan oleh Ibu Iani, tak lupa sebuah hadiah kecil dari kedua orang tuanya turut mempermanis perayaan malam itu.
Saat kembali ke kamarnya Astara sempat terkejut melihat jendela kamarnya setengah terbuka "Bukankah tadi aku sudah menutup jendela itu” Gumamnya.
Tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah jendela kamarnya yang terbuka, seketika suasana berubah menjadi dingin dan mencekam, bulu kuduk anak itu menegang dan membuat tubuhnya merinding, dengan setengah berlari untuk menutup jendela itu namun sekeras apapun dia mencoba tetap saja tidak bisa, tubuhnya seperti terhalang dengan hembusan angin yang masuk, membuatnya kesusahan.
Semakin lama hembusan tersebut semakin kencang, menghamburkan seluruh benda yang ada membuat porak poranda seisi kamar. Tempat tidur, meja, lemari dan segala perabot ikut bergeser. Sedangkan Astara hanya dapat tertelungkup di bawah sambil melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Kejadian misterius itu tak berlangsung lama setelahnya angin mulai mereda, merasa kondisi mulai tenang Astara bergegas bangkit dan menutup jendela tersebut namun tiba-tiba ia mendengar suara dari balik tubuhnya.
Haa ... Haa ... Haa'aai ...
Membuat Astara terkejut sejadi-jadinya hingga tubuhnya terpelanting ke samping dan terjatuh di lantai.
"Waaa ... Aaaaa … Hantuuu…" Teriak Astara spontan dalam ruangan tersebut.
Dalam keremangan kamarnya yang hanya diterangi cahaya bulan, Muncullah sesosok makhluk yang tak jelas wujudnya, dengan membawa sebuah lentera api di tangan kanannya. Untuk sejenak Astara tak dapat berkata apa-apa rasa takut dan ngeri melihat makhluk setengah manusia setengah kambing sedang berdiri di hadapannya saat ini.
Dengan juluran tangan kirinya makhluk itu berusaha untuk membantu Astara berdiri sambil berucap "Berdirilah kawan, aku tak akan menyakitimu mbee... mbee..." Ucap makhluk itu sambil tertawa khas suara kambing.
Dengan tubuh yang gemetaran karena takut, Astara seakan mematung di atas lantai kayu dan tak berkutik sedikitpun. Mengacuhkan uluran tangan dari makhluk itu.
"Si… Siapa kamu, apa yang kamu inginkan?" Tanya Astara dengan terbata-bata.
"Aku adalah Campa, mungkin kamu tak mengenalku namun aku sering mendengar tentang mu dari kakekmu, salam kenal ..." Ucap Campa ramah saat memperkenalkan dirinya.
Bocah itu masih kebingungan dengan makhluk yang ada di hadapannya saat ini, tidak mengerti harus berbuat apa, Astara masih saja mematung dan tak menanggapi ucapan makhluk itu sedikitpun, hanya memajang wajah yang ketakutan.
"Mbeee ... Mbeeee ... Apa kau ketakutan? tenang aku adalah temanmu, tunggu sampai kau bertemu dengan Bago dan juga Mercy" Balasnya.