Sebuah kedai makan dan minum yang selalu ramai baik pagi, siang dan juga malam. Tempat berkumpulnya warga desa di saat senggang. Tertulis Kedai Jenggot di salah satu sudut tembok bangunan tersebut, tertulis besar dan jelas. Sebuah tempat yang sering dikunjungi oleh warga desa Senguana untuk sekedar minum, makan dan mengobrol bergosip. Tempat tersebut sungguh ramai dikala malam menjelang semakin malam tempat itu semakin ramai. Sesaat berjalan lah sesosok berjubah hitam panjang menutupi seluruh tubuhnya dari mulai kepala hingga kaki, begitu tertutupnya hingga bagian bawah mantel tersebut mengepel lantai. Sosok tersebut masuk secara dramatis di tengah riuh meriah suasana kedai tersebut, seketika itu juga suasana menjadi sunyi dan semua mata menuju ke arah sosok misterius berjubah hitam tersebut.
Pria gemuk dan berjenggot tebal yang akrab disapa Naren, dia sang pemilik kedai, sedang sibuk membersihkan gelas-gelas besar yang akan diisi dengan minuman, ditemani dengan istrinya Yuais, mereka berdua kompak berada di bagian meja untuk melayani semua pengunjung kedainya malam itu. Sosok berjubah hitam itu berjalan perlahan diiringi bunyi dentingan besi dari dalam jubahnya, berjalan mendekati meja panjang dan duduk di salah satu kursi yang kosong.
"Selamat datang di Kedai Jenggot, apa yang ingin kamu pesan kawan?" sapa Naren kepada sosok berjubah hitam itu dengan ramah bersahabat.
Naren tahu, suasana kedainya saat itu tiba-tiba sunyi dan semua pengunjung terdiam, membuatnya sedikit ngeri dan harus secepat mungkin mencairkan suasana tegang tersebut. Namun jika diamati lebih detail, sosok berjubah itu sepertinya seorang pengelana yang tak jelas asal usulnya, terlihat dari mantelnya yang dipenuhi noda lumpur di beberapa tempat terutama di bagian bawah mantelnya.
"Ballo," ucap sosok misterius itu pelan dengan nada yang datar dan dingin.
"Hemm ... Pilihan yang tepat kawan, Ballooo ...," teriak Naren memecah suasana yang sempat tegang dan dingin tadi.
Sontak suasana kedai itu ramai kembali dengan suara musik, tertawaan dan juga suara bergosip di semua sudut kedai tersebut.
TUUUUK ...
Suara benturan meja dengan bagian bawah gelas kayu.
"Ambil kembaliannya ...," ucap sosok misterius itu seraya melemparkan koin perak dengan ibu jarinya, kepada pemilik kedai untuk membayar minumannya.
Naren hanya membalasnya dengan senyuman senang, disertai anggukan dari kepalanya. Di salah satu sudut kedai tersebut ada seorang pria yang sedang memperhatikan kejadian tersebut dan dia mulai beraksi. Pria kurus tinggi itu beranjak dari kursinya dengan membawa gelas berisi minuman yang tinggal sedikit, dia berjalan santai mendekati sosok berjubah hitam tersebut dengan perjaya diri.
"Hai orang asing, sepertinya kamu bukan penduduk sekitar sini ya?" sapa pria kurus itu sambil meneguk minuman yang ada di tangannya.
Sama sekali tak bergeming sedikitpun, bahkan menolehkan kepalanya saja tidak, sosok berjubah hitam itu tetap fokus untuk menikmati segelas minumannya.
"Wahh ... Rupanya kamu sulit juga yah untuk diajak bicara, hahaha ...," usik si pria kurus lagi sembari memutar tubuhnya.
Saat pria kurus itu hendak menyentuh pundak kiri lwan bicaranya, dengan cepat sosok berjubah hitam itu menodongkan sebuah belati tepat di tenggorokannya.
SLIIING …
"Aku tak ada urusan dengan mu!" tegas sosok misterius itu.
"Woow ... Wooow ... Tenanglah pengelana, aku hanya berusaha untuk ramah kepada pendatang," ucap pria kurus itu sambil mengangkat kedua tangannya yang mulai lembab.
Belati yang menempel erat di lehernya itu perlahan mulai mengendur dan menjauh, dimasukkannya lagi belati itu ke tempat yang seharusnya, di dalam jubah. Seiring dengan menjauhnya pria kurus pengganggu tadi, Naren mendekat kepada sosok misterius itu sambil mengelap meja yang ada di hadapan mereka.
"Eghm ... Bukan bermaksud tidak sopan ... Tapi apa kamu sedang mencari sesuatu?" tanya Naren berhati-hati, takut-takut kejadian yang serupa terjadi, pada dirinya.
"Aku tidak mencari sesuatu tapi sedang menunggu sesuatu," jawab sosok berjubah hitam itu singkat.
"Lalu apa yang kau tunggu sudah datang?" tanya Naren lagi.
Sosok berjubah hitam itu hanya menggelengkan kepalanya dengan perlahan sambil berucap "Segera!"
"Huuuuh ... Baiklah kawan, tunggulah selama yang kamu butuhkan, jika butuh sesuatu cukup panggil saja aku," pungkas Naren menyudahi perbincangan itu.
Tanpa menjawab lagi sosok misterius itu kembali menenggak minumannya.
#####
Bulan Juli adalah bulan terpanas selama musim kemarau setiap tahunnya, maka tak heran jika setiap malam bulan bersinar begitu terang tanpa halangan, cahayanya yang temaram menyinari bumi yang gelap. Malam itu mendadak Astara terhenyak dari tidurnya karena sebuah mimpi. Di ruangan berbeda ibu Iani juga mengalami hal yang sama, wajahnya terlihat pucat dan dipenuhi keringat seperti habis berlari maraton, tubuh astara pun juga demikian wajah dan tubuhnya dibanjiri keringat dengan nafas yang pendek dan cepat. Detak jantungnya begitu memacu bahkan saat dia baru saja terbangun dari tidurnya. Malam itu terasa begitu panas hingga Astara tak betah untuk tidak membuka jendela kamarnya, sedikit celah di jendelanya cukup untuk membuat angin sejuk masuk menyelinap dan mendinginkan kamarnya.
Keringat yang memenuhi sekujur tubuhnya membuat anak remaja itu merasa kehausan, dengan berupaya bangkit dia mencari air minu untuk mengganti cairan tubuhnya yang terbuang. Dengan berjalan sempoyongan dia meraih gagang pintu dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum, saat berjalan keluar dia melihat ada sesuatu yang tidak biasa di ruang tengah, sebatang kayu berdiri tegak di salah satu sudut ruangan dan memancarkan cahaya kebiruan. Bersusah payah Astara menajamkan pandangannya yang masih buram karena sehabis tidur. Cahaya itu tak begitu terang namun cukup menyilaukan mata di dalam ruangan yang gelap tanpa pencahayaan sedikit pun.
Rasa hausnya seketika hilang digantikan dengan rasa takut dan penasaran saat melihat sebatang tongkat mengeluarkan cahaya. Dengan keragu-raguan dia mulai mendekat dan mengamati lebih lekat kayu tersebut, ukurannya tak begitu besar tingginya sekitar sebahu orang dewasa memiliki bonggol di bagian ujung atasnya, cahaya tersebut berpendar seperti lentera. Dengan perasaan yang campur aduk Astara mulai mendekat dengan perlahan mencoba untuk menyentuh tongkat kayu itu, dia mengamati setiap jengkal dari tongkat aneh tersebut, pandangannya berputar-putar dari kanan ke kiri hingga atas ke bawah, mencoba mengamati mengapa tongkat kayu itu dapat mengeluarkan cahaya tepat ditengah lingkaran ujung yang membulat. Tiba-tiba secara aneh cahaya tongkat itu menyala lebih terang dari sebelumnya, kilatan-kilatan kecil keluar dari ujung tongkat tersebut.
"Hai ...," suara yang terdengar di telinga Astara.