Astara dan Buku Catatan Pendahulu

Swaradtri
Chapter #5

BAB 5 : SANG PENOLONG

KARYA : SWARADTRI


Tubuh Astara masih saja gemetaran saat kakinya mulai menapak di atas lantai kayu, sambil menggenggam Galah erat-erat yang sudah tak memancarkan cahaya kebiruannya.

Dengan wajah yang sedikit geregetan Raen mulai menceramahi anak itu “Dasar bocah lemah, apa kamu tak punya keberanian sedikitpun dalam tubuh itu?".


"Maa ... Maaf ... Tapi aku tak pernah melihat makhluk seperti itu, sangat mengerikan" jelas Astara dengan bergidik.


"Mungkin makhluk itu akan lebih sering menjumpai mu daripada segelas susu hangat di malam hari" ucap Raen dengan nada tinggi yang ditahan.


Saat ini suasana ruang tengah sudah kembali sunyi, Ibu Iani dan Pak Sudia keluar dari kamar tidurnya dengan tergopoh gopoh, sepertinya mereka mendengar kegaduhan yang baru saja terjadi.


"Apa yang sedang kamu lakukan selarut ini?" Tanya Pak Sudia sembari berjalan mendekati anaknya.


"Haaaah... Eee… Ituu…” Astara menoleh kekanan dan kekiri untuk mencari seorang gadis yang bersamanya tadi namun ia tak dapat menemukannya dimanapun, dia sudah lenyap bak ditelan bumi, meninggalnya sendirian di ruang tengah yang gelap. Tentu saja anak itu heran dengan yang baru saja terjadi.


“Apakah yang tadi itu hanya mimpi?” Umpatnya dalam hati.


Beberapa teguk air dari dalam kendi tanah liat membuat tubuhnya kembali segar, dengan masih kebingungan dengan hal yang baru saja terjadi, ia berjalan menuju kamarnya tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada kedua orang tuanya.


Sudah 2 hari semenjak kemunculan makhluk mengerikan itu, namun tetap saja kekhawatiran masih terus mengganggu pikirannya. Membayang bayangi bocah desa itu dan membuatnya dalam perasaan ketakutan. Semenjak itu pula Astara tak pernah menyentuh dan mendengar suara dari Galah apalagi gadis misterius yang bernama Raen.


Sore itu Astara lebih memilih menghabiskan waktunya duduk termenung di depan jendela kamarnya sendirian, bocah desa itu lebih banyak berdiam diri tak seperti biasanya. Ibu Iani yang melihat hal tersebut mulai merasakan ada yang tak biasa dari anak laki-lakinya itu. Segala cara ia lakukan untuk mengembalikan keceriaan anaknya semata wayangnya itu, namun semua hanya ditanggapi Astara biasa saja. Keesokan harinya seusai bekerja di sawah, Pak Sudia berencana mengajak Astara untuk memancing di sebuah danau yang terletak di kaki bukit, karena lokasinya yang cukup jauh dari rumah, Pak Sudia berharap dapat menghilangkan kegelisahan anaknya dengan menghabiskan waktu bersama Astara sambil berjalan-jalan menikmati keindahan alam pegunungan. Bocah itu pun segera mengiyakan ajakan dari ayahnya karena menganggap hal tersebut dapat menghilangkan kegelisahannya akan kejadian malam itu.


Lokasi danau yang mereka tuju melewati lembah dan hutan, menyebrangi sungai dan padang rumput luas, dengan berjalan kaki sambil membawa perbekalan mereka bergerak beriringan hingga akhirnya mereka pun sampai di danau yang dimaksud yaitu danau Muratnes, danau yang begitu luas dan berair jernih, pohon bakau mendominasi pinggiran danau, airnya segar dengan gelobang yang tenang dan juga pinggiran danau yang landai, sungguh danau yang indah. Mereka berdua menaikkan semua peralatan beserta perbekalan ke dalam perahu kecil yang terbuat dari kayu sederhana.


"Masuklah lebih dulu keatas prahu, ayah akan mendorongnya" Ucap Pak Sudia kepada anaknya.


Sambil menaiki perahu yang setengahnya belum mengapung, Astara menjawab apa yang diperintahkan oleh ayahnya "Oke, baiklah"


Dengan seorang diri Pak Sudia mendorong perahu kayu hingga mengapung sempurna diatas air yang tenang, kemudian mereka mendayung perahu itu menuju ke tengah danau. Air danau itu begitu jernih hingga saat Astara menjulurkan kepalanya keluar badan perahu ia tak dapat melihat pantulan wajahnya hanya dasar danau yang dipenuhi pasir dan tumbuhan air, sesampainya di tengah danau, mereka berdua mulai mempersiapkan peralatan pancing mereka, dikaitkannya cacing tanah di kail kecil tersebut dan melemparkannya sejauh mungkin.


“Lihatlah cuaca hari ini begitu cerah, sepertinya hari ini kita akan mendapatkan ikan yang banyak, hahaha…” ucap Pak Sudia mencoba untuk memeriahkan suasana..


“Yaaah ... semoga saja”


“Hari ini kamu ingin mendapatkan ikan apa?” tanya Pak Sudia kembali.


“Apa saja boleh, asalkan bisa aku makan nantinya” ucap Astara lagi sambil mengamati ujung joran pancingnya.


Pak Sudia memandang anaknya itu masih saja terlihat murung, namun dalam benaknya justru inilah alasan mengapa ia mengajaknya untuk memancing berdua, untuk berbincang sesama laki-laki.


“Apa kamu ingin bercerita sesuatu?” tanya Pak Sudia.


“Hmmm... Tidak ada, semua baik-baik saja!” jawab Astara dengan nada datar lagi.


“Jika ayah perhatikan, sudah beberapa hari ini kamu terlihat murung tak seperti biasanya, dan selama itu juga aku belum tahu apa-apa!” desak Pak Sudia kepada anaknya.


“Hmmm…” Hanya dengusan angin yang keluar dari mulut Astara.


“Jika memang kamu tak ingin menceritakannya pun tidak apa-apa, ayah tak memaksa. Namun sebaiknya kamu memberi pengertian kepada ibumu, jangan membuatnya khawatir” jelas Pak Sudia.

“Mungkin ayah lebih baik bertanya kepada Ibu, apa yang sebenarnya terjadi, Aku rasa Ibu lebih paham…” cetus Astara kepada ayahnya.


“Maksud mu tahu tentang apa?” tanya Pak Sudia bingung.


Dengan memandang ke arah ayahnya, Astara mencoba untuk menceritakan apa yang ia lalui beberapa hari ini. “Hmmm… Apakah ayah tak pernah mendengar tentang kakek?”


“Kakek? ayah dari ibu mu? Hmmm… Tidak, setahu ayah dia sudah meninggal semenjak ibumu masih kecil, kenapa?” Tanya Pak Sudia heran.


“Hmmm… Namun ternyata bukan seperti kenyataannya!”


“Maksudmu?”


Saat Astara mulai menceritakan apa yang dia tahu tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti guntur di atas langit, disertai hembusan angin yang begitu kencang dari arah bukit, suara seperti siulan berdengung di seluruh lembah, suara yang sama saat Bago secara tak sengaja bertemu Astara di tengah hutan beberapa tahun yang lalu. Awan yang awalnya cerah mendadak berubah mendung, angin yang berhembus terasa begitu membekap dan aneh, untuk sekejap suasana berubah menjadi mencekam.


“Cuaca mendadak berubah sebaiknya kita segera menepi! Astara bantu ayah untuk mendayung hingga ke pinggir!” ucap Pak Sudia kencang sambil membereskan alat pancing dan mendayung dengan sekuat tenaga.


Dengan sepenuh tenaga Astara dan ayahnya menggerakkan perahu itu untuk menghindari hembusan angin yang tak wajar ini, pohon-pohon bakau di tepian danau terlihat bergelayutan, ujungnya yang tinggi terlihat membengkok tertiup angin yang semakin kencang.


Semakin lama angin yang berhembus semakin kencang, Astara dan Pak Sudia masih berada di atas perahu dan terus berusaha mendayung menuju tepian. Namun sayang, sebelum mereka berhasil sampai di tepi danau, tiba-tiba ombak telah membumbung tinggi dari arah belakang mereka, semakin lama semakin tinggi, menggulung apapun yang berada di depannya dengan cepat, seperti tsunami.


“Ayah lihat, itu ombak yang sangat besar”

Teriakan Astara memecah konsentrasi ayahnya saat mendayung perahu.


Secara misterius di tengah-tengah gelombang itu seperti terukir sebuah wajah yang menyeringai jahat, mereka berdua terpaku dengan kejadian yang aneh itu, mereka berdua mematung dan tak bergerak, sambil memejamkan mata, mereka bersiap untuk menerima terjangan ombak tersebut.


SPLAAT… SPLAAAS….. PLAAAAS…..


Sebuah tebasan yang cepat dan kuat disertai sambaran kilat berwarna kuning menghantam ombak itu, hingga membuatnya terbelah menjadi dua bagian. Sebuah tangan raksasa yang terbuat dari air mencoba membalas serangan namun meleset. Perahu kayu yang dinaiki Astara dan ayahnya pun terguling karena dahsyatnya serangan itu, kedua manusia itu berusaha berenang menuju tepi sungai, mereka berdua kewalahan karena gelombang yang tak beraturan seakan tak membiarkan mereka untuk selamat. Dengan kepanikan yang menyelimuti serasa membuat gerak tubuh mereka semakin cepat dan tak terkendali. Sesampainya di tepi danau dengan susah payah, tubuh mereka terbaring lelah dengan nafas yang menderu dan terbatuk-batuk.

Lihat selengkapnya