Pelarian Astara & Raen telah berakhir, mereka terpojok berdiri di tepi jurang, disaat yang sama suara langkah kaki para bandit itu semakin mendekat, Astara dan Raen harus segera mengambil keputusan, mereka tidak punya banyak waktu untuk berpikir.
“Apa kamu percaya dengan ku?” ucap Raen kepada Astara.
“Apa? Apa kamu akan melawannya sendirian?”
“Jangan bodoh, kita belum sanggup untuk melawannya, tapi ….”
“Tapi … Tapi apa?”
Dengan cepat Raen meraih tangan Astara “Dalam hitungan ke-tiga lompat ke arah jurang,” pungkas Raen kepada Astara.
“Haah … Apa kamu sudah gila! Kita bisa mati,” jawab Astara dengan gelisah.
Disaat yang sama suara langkah bandit semakin terdengar jelas.
“Satu … Dua …,” Belum selesai menghitung, mereka sudah melompat ke arah jurang.
Sayap Raen terbentang lebar, sayap yang kuat dengan bulu-bulu putih itu menerbangkan mereka berdua menjauhi lereng jurang terjal tersebut, walau sambil menahan sakit, Raen tetap bertahan dalam posisi itu, “Haaahahaaa … Kita terbang Raen, kita terbang …,” teriak Astara ketakutan namun juga girang.
“Iya tapi, Aagkh … Luka ini menghambat ku, Aku tak dapat bertahan lebih lama lagi, setidaknya kita dapat menjauh dari para bandit itu,” ucap Raen sambil menahan sakit.
Mereka terbang menjauhi para bandit yang langkahnya terhenti di tepi jurang, Para bandit itu hanya dapat melihat Raen & Astara terbang melayang menuju timur melintasi perbukitan dan hutan-hutan. Tak berselang lama, mereka harus mendarat darurat karena luka gadis itu yang masih belum sepenuhnya sembuh, luka yang benar-benar membuat Raen tak berdaya.
“Apa kamu baik-baik saja?” tanya Astara mengkhawatirkan kondisi rekannya itu.
“Pintu masuk ke reruntuhan gerbang itu masih jauh, ayo kita lanjutkan perjalanan,” seru Raen.
Astara dan Raen akhirnya mencapai hutan yang rimbun, suasana hutan yang begitu lebat dipenuhi oleh kabut tebal yang selalu menyelimuti setiap jengkal pepohonan, menciptakan atmosfer yang misterius dan menakutkan.
“Apakah ini Hutan Kabut?” tanya Astara sambil membuka kembali petanya.
“Sepertinya, namun aku tidak tahu kita berada di posisi mana saat ini.”
“Bukankah kita hanya perlu berjalan menuju timur?” ucap Astara ringan.
“Itu memang benar, tapi masalahnya apakah kamu tahu timur ada di sebelah mana?” tegas Raen ketus.
“Aaah ... Iya, kamu benar juga,” jawab Astara sambil menyembunyikan senyum bodohnya.
“Jika dilihat dari arah terbang kita tadi, jika tidak salah arah timur ada di sebelah kiri, jadi untuk saat ini kita harus mencari jalan setapak dengan tanda batu putih, agar tidak tersesat.”
“Seberapa penting kita harus mencari jalan setapak itu?” tanya Astara penasaran.
“Jalan itu adalah jalan satu-satunya yang mengarah menuju gerbang Serandjana, tempat yang kita tuju. Jika tersesat di hutan ini maka kamu takan pernah bisa melihat matahari lagi. Lihatlah sekeliling mu, hutan ini begitu misterius, seolah-olah ada sesuatu yang selalu mengawasi kita,” jelas Raen.
“Kamu benar, sebaiknya kita segera berjalan kearah yang kamu tunjuk tadi.”
Mereka mulai bergerak dan menyusuri hutan dengan hati-hati. Kabut tebal membuat mereka hanya bisa melihat beberapa langkah di depan mereka, pepohonan yang tinggi dan merambat tumbuh begitu rapat sehingga tidak ada jalan yang benar-benar jelas. Mereka menjelajahi Hutan Kabut yang semakin dalam, mereka mendengar suara-suara aneh yang muncul dari balik pepohonan. Dari balik kabut terlihat samar makhluk-makhluk hutan yang tak dikenal, sebagian besar adalah binatang buas yang hidup di wilayah ini.
“Cepatlah sebelum kita jadi santapan mereka!” seru Raen kepada Astara.
“Sebaiknya kamu hentikan ocehanmu itu dan segera beranjak dari siniiii …,” balas Astara dengan gemetaran.
Namun, sebuah bayangan aneh muncul menghadang langkah mereka, “Kenapa kamu malah berhenti!?” tanya Raen heran.
“Ituu … Ituuu …,” jelas Astara dengan gemetaran.
Sebuah bayangan aneh berwujud manusia muncul di hadapan mereka, namun jika dilihat lebih jelas, bagian kepalanya memiliki tanduk. Mendadak sebuah entitas humanoid muncul di antara pepohonan, mengenakan pakai yang terbuat dari dedaunan dan sulur, makhluk ini memiliki rambut panjang dan mata yang hitam. Astara terkejut dengan penampakan itu, menyadari bahwa ini bukanlah manusia pada umumnya.
“Maaf kami tersesat, kami hanya ingin menemukan jalan berbatu putih,” jelas Raen sambil membungkuk.
Sebuah ayunan tangan yang ringan dari makhluk hutan itu menunjuk ke sebuah arah. Mereka pun paham dan segera melanjutkan perjalanan.
“Sebenarnya mereka ini apa? atau siapa?” tanya Astara pelan.
“Entahlah ... Yang kutahu mereka adalah penjaga hutan ini dan sebaiknya tidak usah kamu pedulikan, lebih baik kita segera mencari jalan keluar dari sini,” pungkas Raen.
Saat mereka berjalan terus memasuki hutan kabut, mereka mulai menyadari bahwa tempat ini penuh dengan misteri. Mereka menemukan reruntuhan bangunan yang telah tertutup akar pohon, di dalamnya mereka menemukan artefak kuno yang penuh dengan tulisan asing, namun mereka tak memiliki kesempatan untuk mencari tahu dan melanjutkan perjalanan kembali. Selama perjalanan Raen selalu saja menggenggam gagang pedangnya, bersikap seolah akan menghadapi musuh, karena dalam situasi yang serba tak menentu seperti ini, waspada adalah pilihan yang terbaik.
Semakin dalam mereka memasuki Hutan Kabut, suasana sekitar menjadi semakin gelap dan mencekam. Kabut yang tebal membuat mereka kesulitan untuk menentukan arah, setiap jengkal dari hutan ini selalu menimbulkan suara-suara aneh membuat jantung mereka berdegup lebih cepat.