Astara dan Buku Catatan Pendahulu

Swaradtri
Chapter #7

BAB 7 : MENUJU GERBANG SERANDJANA


KARYA : SWARADTRI


Pelarian Astara & Raen telah berakhir, mereka terpojok berdiri di tepi jurang, disaat yang sama suara langkah kaki para bandit itu semakin mendekat, Astara dan Raen harus segera mengambil keputusan. Mereka tidak punya banyak waktu untuk berpikir.

“Apa kamu percaya dengan ku?” ucap Raen kepada Astara.

“Apa? Apa kamu akan melawannya sendirian?”

“Jangan bodoh, kita belum sanggup untuk melawannya, tapi…”

“Tapi… Tapi apa?”


Dengan cepat Raen meraih tangan Astara “Dalam hitungan ke-3 lompat ke arah jurang”

“Haah… Apa kamu sudah gila!” Jawab Astara dengan gelisah.

Disaat yang sama suara langkah bandit semakin terdengar jelas.

“1… 2…” Belum selesai menghitung Raen melompat ke arah jurang di belakangnya.


Sayap Raen terbentang lebar, sayap yang kuat dengan bulu-bulu putih itu menerbangkan mereka berdua menjauhi lereng jurang terjal tersebut, walau sambil menahan sakit, Raen tetap bertahan dalam posisi itu.

“Haaahahaaa… Kita terbang Raen, kita terbang…” Teriak Astara ketakutan namun juga girang.

“Iya tapi, Aagkh… Luka ini menghambat ku, Aku tak dapat bertahan lebih lama lagi, setidaknya kita dapat menjauh dari para bandit itu.” Ucap Raen sambil menahan sakit.


Mereka terbang menjauhi para bandit yang langkahnya terhenti di tepi jurang, Para bandit itu hanya dapat melihat Raen & Astara terbang melayang menuju timur melintasi perbukitan dan hutan-hutan. Tak berselang lama, mereka harus mendarat darurat karena luka gadis itu yang masih belum sepenuhnya sembuh, luka yang benar-benar membuat Raen tak berdaya.

“Apa kamu baik-baik saja?” Ucap Astara mengkhawatirkan kondisi rekannya itu.

“Pintu masuk ke reruntuhan gerbang itu masih jauh, ayo kita lanjutkan perjalanan.” sahutnya.


Astara dan Raen akhirnya mencapai hutan yang rimbun, suasana hutan yang begitu lebat dipenuhi oleh kabut tebal yang selalu menyelimuti setiap jengkal pepohonan, menciptakan atmosfer yang misterius dan menakutkan.

“Apakah ini Hutan Kabut?” tanya Astara sambil membuka kembali petanya.


“Sepertinya, namun aku tidak tahu kita berada di posisi mana saat ini”


“Bukankah kita hanya perlu berjalan menuju timur?” Ucap Astara ringan.


“Itu memang benar, tapi masalahnya apakah kamu tahu timur ada di sebelah mana?” Ucap Raen ketus.


“Aaah...Iya, kamu benar juga.” Jawab Astara sambil menyembunyikan senyum bodohnya.


“Jika dilihat dari arah terbang kita tadi, jika tidak salah arah timur ada di sebelah kiri, jadi untuk saat ini kita harus mencari jalan setapak dengan tanda batu putih, agar tidak tersesat.”


“Seberapa penting kita harus mencari jalan setapak itu?” Tanya Astara penasaran.


“Jalan itu adalah jalan satu-satunya yang mengarah menuju gerbang Serandjana, tempat yang kita tuju. Jika tersesat di hutan ini maka kamu takan pernah bisa melihat matahari lagi. Lihatlah sekeliling hutan kabut ini begitu misterius seolah-olah ada sesuatu yang selalu mengawasi kita!” Jelas Raen.


“Kamu benar, sebaiknya kita segera berjalan kearah yang kamu tunjuk kan tadi.”


Mereka mulai bergerak dan menyusuri hutan dengan hati-hati. Kabut tebal membuat mereka hanya bisa melihat beberapa langkah di depan mereka. Pepohonan yang tinggi dan merambat tumbuh begitu rapat sehingga tampaknya tidak ada jalan yang jelas.


Saat mereka menjelajahi Hutan Kabut yang semakin dalam, mereka mendengar suara-suara aneh yang muncul dari balik pepohonan. Dari balik kabut terlihat samar makhluk-makhluk hutan yang tak dikenal, sebagian besar adalah binatang buas yang hidup di wilayah ini. 

“Cepatlah sebelum kita jadi santapan mereka!” Ajak Raen kepada Astara.

Lihat selengkapnya