Matahari yang telah tenggelam di gantikan dengan cahaya bulan yang remang, menyisakan langit berwarna hitam yang memancarkan cahaya bintang. Astara dan Raen berjalan di antara reruntuhan kota tua yang terbengkalai, di tengah hamparan bangunan-bangunan yang runtuh akibat usia dan terjangan waktu. Angin malam membawa aroma rempah dari reruntuhan yang membaur dengan aroma debu dan tanah basah.
"Dahulu kota ini pasti penuh dengan kehidupan dan keceriaan," kata Raen, sambil mengamati sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu, "Tetapi sekarang hanya tersisa puing-puing dan kenangan yang terkubur."
Astara mengangguk setuju, matanya berbinar-binar saat dia memikirkan misi mereka, "Tidak ada waktu untuk terlena dalam kenangan masa lalu. Kita harus fokus pada tugas kita, yaitu menemukan gerbang menuju Purwaloka."
Mereka melangkah melalui lorong-lorong yang gelap dan puing-puing bangunan, melewati pilar-pilar batu yang sudah lapuk dan reruntuhan bangunan yang menjulang tinggi. Akhirnya, mereka tiba di sebuah ruang terbuka yang tampaknya menjadi pusat kota itu. Namun di tengah-tengah tempat tersebut hanya ada tumpukan batu-batu besar yang berserakan.
“Oh tidak!” ucap Raen, saat melihat apa yang ada di hadapannya.
“Kenapa kamu terkejut?” tanya Astara.
“Gerbangnya … Gerbanya telah hancur.”
“Apaa … Jadi gundukan batu ini adalah gerbangnya?” tanya Astara keheranan, “Aku kira gerbanya akan terlihat begitu megah.”
"Inilah gerbang yang kita cari, namun sepertinya telah dihancurkan," ujar Raen.
Dia tak sanggup menerima kenyataan pahit bahwa satu-satunya jalan menuju Purwaloka telah rata dengan tanah.
“Hei ... Tunggu, aku tahu sesuatu mengenai gerbang ini, akan aku tunjukan caranya,” ujar Galah pada Astara.
“Raen ikuti aku, sepertinya Galah tahu sesuatu tentang gerbang ini.”
Mereka bertiga bergerak dengan cepat, dengan hati-hati memeriksa setiap sudut bangunan. Potongan-potongan batu berserakan di seluruh reruntuhan, seperti jejak kebusukan yang ditinggalkan oleh para penghancur gerbang tersebut. Galah berhenti di depan sebuah batu besar, di permukaan batu itu tergambar bentuk gerbang sebelum dihancurkan, “Ini lihatlah, ini adalah bentuk dari gerbang itu jika saja kita berhasil menyusunnya kembali maka dengan kekuatan ku, kita bisa menghidupkan gerbang ini lagi,” ucap tongkat itu.
Kayan Mentarang, tertulis jelas di atas gambar, “Apakah itu nama tempat ini? Baiklah jika harus menyusunnya kembali maka kita akan lakukan,” seru Astara.
"Siapapun yang telah menghancurkan gerbang ini, mereka pasti memiliki niat jahat dan tidak menginginkan kita berhasil melewatinya," kata Raen dengan nada berat, mencerminkan kekecewaannya terhadap perbuatan yang merusak.
Astara mengangguk setuju, matanya yang tajam berkeliling mencari potongan-potongan batu yang dapat mereka gunakan untuk memperbaiki gerbang. Mereka harus menyusunnya kembali dengan cermat sesuai dengan petunjuk yang terukir di permukaan dinding batu. Gambar-gambar kuno yang terukir di batu itu menjadi panduan yang tak ternilai harganya. Dalam proses menyusun kembali struktur yang hancur, Astara dan Raen merasakan beban tanggung jawab yang teramat berat di pundak mereka. Mereka menyusun batu demi batu dengan hati-hati, mengutamakan keakuratan dan ketelitian dalam setiap langkah mereka. Setiap geseran, goncangan dan gerakan batu menciptakan suara gemuruh yang menggema di seluruh area.
Dan akhirnya, setelah berhari-hari usaha keras mereka mulai membuahkan hasil, ketika tumpukan batu itu mulai tersusun membentuk sebuah gerbang raksasa, Astara dan Raen merasa lega, “Akhirnya gerbang inipun kembali tersusun dengan semestinya.”
“Hemm ... Baiklah, saatnya aku untuk beraksi,” ucap Galah, Setelah gerbang tersusun dengan sempurna, Astara dan Raen menatap Galah dengan penuh harap. Astara mengangkat Galah tinggi-tinggi di udara, seketika kekuatan ajaib terpancar menyilaukan. Cahaya terang yang memancar dari tongkat itu menyelimuti seluruh reruntuhan, mengusir kegelapan yang menyelinap di antara reruntuhan kuno.
Dengan kekuatannya yang luar biasa, Galah mengeluarkan sinar yang mempesona, membuat batu-batu yang berserakan di sekitar gerbang mulai melayang di udara. Mereka berputar-putar dalam gerakan yang harmonis, seolah mengikuti irama yang tak terlihat namun kuat. Kekuatan gaib yang terpancar meresap ke dalam batu-batu itu, menghidupkan kembali esensi mereka yang terkubur dalam reruntuhan. Saat Galah bergerak sendiri dan mengarah ke arah gerbang, energi ajaib yang dipancarkannya menyatu dengan struktur gerbang yang telah mereka perbaiki. Gerbang itu mulai bercahaya dengan gemerlap yang memukau, memancarkan pancaran cahaya yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Cahaya itu memenuhi setiap sudut, memantulkan kekuatan gaib yang kini mengalir dalam gerbang yang telah kembali aktif.
Astara dan Raen terpaku pada pemandangan luar biasa yang tersaji di hadapan mereka, hingga tak sanggup mengalihkan pandangan dari keindahan yang tercipta. Mereka merasakan getaran kekuatan gaib yang memenuhi napas, memberikan mereka perasaan nyata bahwa petualangan baru telah dimulai. Seperti atraksi yang memukau di atas panggung besar alam semesta, gerbang itu menggoda mereka dengan janji petualangan yang tak terhingga. Astara dan Raen tersenyum satu sama lain, penuh dengan antusiasme dan kesiapan untuk melangkah ke dalam dunia dimensi lain yang menunggu di balik gerbang yang baru saja mereka hidupkan kembali.
Astara dan Raen menghirup napas dalam-dalam, sebelum bersiap melangkah ke dalam gerbang Serandjana. Ketika mereka mulai memasuki lorong yang terbentang di depan mereka, cahaya berkilauan memenuhinya, penuh dengan suasana magis yang mempesona. Cahaya itu menyelimuti mereka dengan hangat, memberi tahu bahwa mereka telah memasuki wilayah yang asing. Bayangan-bayang dunia yang belum pernah Astara kunjungi samar terlihat di kejauhan, merayu mereka dengan janji bayangan imajinasi yang jauh melampaui batasan. Di sisi-sisi lorong, terdapat lukisan purba memperlihatkan sejarah yang pernah terjadi, menggambarkan peradaban dari kedua dunia dengan detail yang menakjubkan. Astara dan Raen berjalan perlahan, terpesona oleh setiap detail lukisan yang menghidupkan kembali sejarah yang pernah ada. Mereka berdua menyimak setiap jengkal dari lorong itu dengan hati yang penuh rasa ingin tahu, membiarkan diri mereka tenggelam dalam pesona keindahan dan keajaiban yang terpapar di hadapan mereka. Sesekali, mereka saling berpandangan dengan ekspresi kekaguman yang tak terucapkan, merasakan getaran energi yang memenuhi udara di sekeliling mereka.
Akhirnya, setelah melangkah dengan penuh penghayatan, Astara dan Raen tiba di ujung lorong yang lain. Astara merentangkan senyum dengan tatapan tajam, dipenuhi dengan keberanian dan tekad untuk menjelajahi dunia yang belum pernah dia kenal sebelumnya. Petualangannya baru saja dimulai.
“Baiklah ini dia, dunia yang dulu pernah dijelajahi kakek, seperti mengulang masa lalunya. Semoga aku dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik,” ucap Astara dalam hati saat menginjakkan kakinya untuk kali pertama di Purwaloka.
Semakin jauh melangkah cahaya yang bersinar itu semakin redup, digantikan dengan kegelapan. Saat ini yang terhampar dihadapan mereka hanyalah reruntuhan yang sama sunyinya seperti halnya di Kota Kayang Mentarang, “Kenapa di sini juga pemandangannya sama seperti di tempat sebelumnya?” tanya Astara sedikit kecewa.
“Karena pada dasarnya semua gerbang yang menghubungkan ketiga dunia sudah lama ditinggalkan,” jawab Raen.
Mereka hanya dapat menghela napas saat mengetahui kenyataan yang tak seindah bayangan, tak menyangka setelah keluar dari gerbang yang indah itu ternyata hanya untuk menemukan pemandangan yang menyedihkan dan serupa dengan tempat sebelumnya. Kota yang telah runtuh terbentang di depan mereka tampak lebih sunyi dan kosong daripada yang mereka kira.
Pandangan dan firasat Raen berubah drastis, “Sepertinya ada yang tidak beres di sini.”
“Dengan kota yang telah luluh lantah seperti ini, tentu saja ada yang tidak beres,” jawab Astara.
Saat Raen menyentuh permukaan dinding batu yang setengah hancur, “Bukan itu maksudku, tapi sepertinya baru saja ada sebuah pertempuran di tempat ini, bekas-bekas kekerasan & penyerangan masih membekas di setiap dinding.”