Astara dan Buku Catatan Pendahulu

Swaradtri
Chapter #9

BAB 9 : NANGGALA

Cahaya pagi begitu terang, matahari mulai naik di ufuk timur cahayanya menuntun langkah mereka menuju tujuan berikutnya. Setelah meninggalkan reruntuhan kota yang penuh dengan kenangan, saat ini kaki mereka mulai memijak di atas tanah yang sedikit basah. Jalan setapak yang hanya tersibak rerumputan itu menuntun mereka melewati bukit yang tingginya hanya sepohon jambu. Sesampainya di puncak bukit kecil, mata mereka mulai dimanjakan dengan pemandangan indah yang terbentang tepat di hadapan mereka.

"Huuuaaahh... Indah sekali! jadi inikah Purwaloka?" ucap Astara dengan polosnya.

"Hemm... Aku masih meragukan itu, mungkin yang kamu lihat baru segininya saja." jawab Raen sambil mengisyaratkan ibu jari dan jari telunjuk yang saling berdekatan.

"Sudah bertahun-tahun aku tidak menghirup udara sesegar ini." seloroh Kurila.

"Apakah di seluruh Purwaloka kondisi alamnya seindah ini?"

"Tidak selalu seperti ini, kondisi alam di dunia ini bermacam-macam, jika aku menjelaskannya sekarang mungkin sama saja kamu akan sekolah di sini hahaha..." ucap Kurila bercandan.

Hamparan rumput hijau membentang luas seperti permadani alam yang tak terbatas. Setiap helai rumput tampak hidup dengan setetes embun di ujungnya, berdesakan menyuguhkan warna hijau yang segar di antara bebatuan berwarna warni. Terlihat juga burung-burung kecil yang sama sekali tak pernah Astara lihat sedang terbang di atas pepohonan, menciptakan tarian alam yang mempesona.

Mereka melanjutkan perjalanan melalui padang rumput yang luas, pohon-pohon berdaun runcing menghiasi tepian sungai, bebatuan dan tebing terjal. Astara berada di posisi paling depan dengan peta tergenggam erat di tangan, matanya melihat lekat-lekat memilah detail-detail kecil yang bisa menjadi petunjuk. Raen mengikuti di belakangnya dengan pedangnya terselip di pinggang, mengamati sekeliling. Sementara itu, Kurila berada di barisan paling belakang, dengan tangannya yang panjang dan besar seolah berjalan dengan empat kaki.

Dari kejauhan, mereka bisa melihat air terjun yang mengalir deras dari lereng gunung. Airnya bening dan memancarkan kilauan indah, Gemuruhnya terdengar samar di telinga mereka menjadi latar belakang yang menenangkan. Tak jauh dari situ, pulau-pulau kecil melayang di udara dengan begitu anggunnya. Pulau-pulau itu seolah-olah menari di atas awan terikat dengan akar-akar raksasa, setiap pulau yang melayang di hiasi oleh pepohonan yang rimbun dan memancarkan cahaya berwarna-warni.

"Bukankah seharusnya kunang-kunang keluar di malam hari?"

"Itu bukan kunang-kunang melainkan Gnih."

"Hah apa itu Gnih?"

"Itu adalah makhluk sejenis api kecil yang biasa hidup di hutan, mereka hidup berkelompok dan biasanya berkerumun di tempat yang mereka tinggali." jawab Raen menjelaskan.

Belum selesai anak laki-laki itu memahami hal aneh yang dilihatnya tiba-tiba seekor kupu-kupu dengan ukuran yang sangat besar melintas di hadapannya "Be... Be... Besar sekali kupu-kupu itu? Aaghh..." dengan wajah cemas.

"Hahahaha..." sontak hal tersebut menjadi tawa diantara mereka bertiga.

Astara, Raen, dan Kurila melanjutkan perjalanan mereka menuju timur, masih terpukau oleh keindahan alam yang mereka lihat sepanjang perjalanan. Namun, ketika mereka mencapai suatu titik, pemandangan berubah menjadi rintangan. Saat mereka sampai di tepi sungai, pandangan mereka tertuju pada aliran sungai yang mengalir begitu deras. Sungai ini begitu besar dan luas, airnya mengalir dengan kencang dari atas gunung. Gemuruh air yang menghantam bebatuan membuat mereka menyadari betapa sulitnya menyeberangi sungai ini.

"Astara, kamu yakin kita sedang menuju arah yang benar?" tanya Raen, sedikit khawatir.

Astara mengangguk mantap. "Ya, sesuai petunjuk di peta ini, seharusnya kita menuju timur. Jika tidak salah dalam peta ini tergambar sebuah pemukiman yang terletak di pinggir pantai."

"Kita tidak bisa begitu saja menyebrangi sungai ini Astara, apa yang harus kita lakukan? Sungai ini terlalu deras untuk disebrangi." ujar Raen sambil menatap air yang bergelombang-gelombang.

Astara mengamati sekitar "Mungkin kita perlu mencari jalan memutar untuk mencapai sisi lainnya."

Tanpa membuang waktu mereka mulai menyisir sungai yang besar itu, berharap ada sebuah jembatan atau semacamnya yang dapat mereka gunakan untuk menyebrang. Setelah beberapa meter menyisir ternyata aliran sungai itu mengarah ke sebuah goa yang sangat besar. "Mungkin kita bisa mencari jalan lain melalui goa itu." saran Astara, berusaha mencari solusi dari situasi yang sulit ini.

"Aku mempunyai firasat yang buruk mengenai tempat ini!" ucap Kurila sambil mendongak melihat betapa tingginya langit-langit goa itu.

Tidak ada pilihan lain, mereka memutuskan untuk memasuki goa tersebut. Suasana yang awalnya terang dan damai seketika berubah drastis. Cahaya matahari yang sebelumnya menerangi perjalanan mereka, kini digantikan oleh kegelapan yang pekat. Semakin jauh mereka masuk semakin gelap pula suasana yang tersaji.

"Hei lihatlah sepertinya ada bintik-bintik cahaya di seluruh dinding." ucap Kurila mengarahkan yang lainnya.

Mereka terpesona oleh pemandangan yang muncul di depan mata mereka. Meskipun di dalam goa itu gelap, namun cahaya memancar dari hampir seluruh dinding goa. Batu-batu permata yang menempel di dinding goa menghasilkan pantulan cahaya yang berkilauan. Cahaya ini terlihat seperti kilauan bintang-bintang kecil yang tersebar di seluruh ruangan. Ada batu kristal yang memantulkan cahaya putih bersih, ada ruby yang memancarkan cahaya merah hangat, dan batu-batu permata berwarna warni yang menciptakan pemandangan yang memukau.

"Benar sepertinya dinding goa ini dipenuhi kristal, permata dan sejenisnya." sahut Astara.

"Lihatlah betapa indahnya goa in seperti bintang di malam hari." ujar Raen dengan suara terkesima, matanya tidak bisa lepas dari cahaya berkilauan yang memenuhi ruangan goa.

Kurila mengangguk setuju, "Ini sungguh luar biasa, seperti ada dunia lain di dalam goa yang gelap ini."

Astara tersenyum puas, merasakan keajaiban alam yang mereka temui di dalam goa tersebut membius mereka dengan kejadian yang langka itu "Mari kita nikmati keindahan ini untuk sejenak teman-teman."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati penuh kekaguman, sambil membiarkan diri terpesona oleh cahaya pantulan batu permata yang menghiasi setiap sudut goa.

"Lihat disana ada jembatan, mungkin kita bisa menyebrang lewat sana." ujar Astara.

Namun Raen mengamati jembatan yang terbuat dari tali itu terlihat tua dan rapuh "Tapi sepertinya jembatan ini sudah sangat rapuh sekali, sebaiknya kita berhati-hati."

Jembatan yang terbuat dari tali tambang dengan pijakkan papan kayu itu terlihat sangat tua dan rapuh, namun jembatan itu adalah jalan satu-satunya yang bisa dilewati mereka untuk sampai ke seberang sungai. "Kita tidak ada pilihan lain, benar katamu sebaiknya kita berhati-hati."

Dengan perlahan, mereka melangkah bergantian, satu per satu di atas jembatan yang rapuh itu.

Kreteeek... Kretek... Krieeek...

Suara dari papan jembatan yang mereka pijak.

"Eeem... Perasaan ku tidak enak dengan hal ini!"

Semakin jauh melangkah, suara derit yang terdengar juga semakin jelas dan kencang dan benar saja tiba-tiba jembatan yang mereka naiki terputus di tengah perjalanan, membuat mereka terjatuh dan bergelayut di tebing curam yang berada tepat di sisi sungai yang mengalir deras di bawahnya. Astara berusaha memanjat kembali sambil membantu Raen dan Kurila. Itu adalah pengalaman yang menegangkan, namun mereka berhasil naik kembali ke atas. Suara nafas yang menderu serta detak jantung yang meninggi seolah seirama dengan gemuruh derasnya aliran air yang berada di bawah mereka.

"Haaah... Hampir saja kita mati, haah... Huuuh..." ucap Kurila sambil bersandar di dinding goa yang basah.

Belum turun adrenalin yang mengalir di darah mereka, ketegangan masih di rasakan di setiap hembusan nafas dan sekujur tubuh namun sepertinya goa itu tidak membiarkan mereka untuk santai sejenak. "Ooh.. Tidak!! sepertinya tanpa sengaja kita telah membangunkan mereka!" ucap Raen.

"Mereka!? mereka siapa yang kamu maksudkan?" Astara mencoba menengok ke arah Raen yang sedang berdiri mematung.

"Heee.... Heee... Hewan baik... Hewan baik..." sahut Kurila gemetaran.

Seekor cacing raksasa berdiam tepat di hadapan mereka dengan gigi-gigi tajam berwarna hitam tepat berada di ujung tubuhnya seperti mulut yang penuh dengan gigi, ukurannya sangat besar bahkan Kurila yang setinggi 3 meter saja hanya seperempat ukuran dari mulut cacing yang tepat berada di hadapan mereka.

"Tenang lah! biasanya cacing tidak melihat dengan mata, mereka mengandalkan insting dan getaran. Jika kita bergerak dengan tenang kita akan bisa melewati mereka." jelas Raen kepada yang lainnya.

Astara & Kurila menurut saja seperti apa yang disampaikan oleh Raen, mereka bergerak dengan sangat hati-hati sebisa mungkin langkah mereka tidak menimbulkan suara dan getaran. Begitu mencekamnya situasi saat ini Astara tersentak ketika dia merasakan rasa gatal di hidungnya, lalu dengan tiba-tiba dia bersin dengan keras. Wajahnya mengerut di barengi dengan mata yang membesar.

Suara bersin itu terdengar sangat kencang hingga menggema di seluruh lorong goa, tak lama kemudian getaran yang mulanya kecil lama kelamaan menjadi seperti gempa mulai mereka rasakan ternyata itu adalah getaran yang disebabkan oleh semua cacing yang ada di goa itu mereka bergerak bersamaan bereaksi dari suara bersin.

Astara berlari dari yang urutan paling belakang tiba-tiba dia sudah berada di paling depan "Ayo sebaiknya kita segera lari, segera keluar dari goa ini."

Dengan panik, mereka berusaha melarikan diri, tetapi cacing-cacing ganas itu terus mengejar mereka habis-habisan. "Cepatlah mulut goa sudah terlihat" teriak Raen sambil mengeluarkan pedangnya.

"Kamu mau apa?" tanya Astara.

"Aku akan menghalau mereka, aku akan meruntuhkan goa ini, Kurila tolong bawa Astara keluar secepatnya kalian harus tetap melanjutkan perjalanan ini apapun yang terjadi!"

"Baik, kami menunggumu di mulut goa!" dengan menggunakan kedua kakinya dan dibantu dengan kedua tangannya yang panjang, Kurila mampu berlari lebih cepat. Dia menarik dan menaruh Astara di punggungnya dan berlalu menuju mulut goa meninggalkan Raen di belakang. Tanpa memiliki banyak pilihan, Raen memutuskan untuk meruntuhkan dinding goa yang cukup besar agar cacing-cacing raksasa itu terkurung di dalamnya.

Saat batu-batu mulai runtuh, Astara dan Kurila berhasil keluar dari goa dengan selamat, namun Raen belum terlihat. Debu yang membumbung tinggi akibat runtuhnya bebatuan besar menghalangi pandangan mereka.

"Raeeeeen...! Kurila, apakah dia selamat?" Teriak Astara cemas.

"Entahlah aku belum bisa melihat apa-apa, debu ini begitu pekat."

Mereka berdua menunggu dengan sabar mencoba membesarkan hati walau sebetulnya perasaannya sedang kacau. Sesaat debu yang pekat mulai mereda namun mereka belum melihat keberadaan Raen. Kurila dan Astara berlari menuju mulut goa yang telah tertutup sepenuhnya oleh bebatuan terjal mencoba memeriksa keberadaan teman mereka.

"Astara kemarilah aku menemukannya, dia ada disini!" teriak Kurila sambil memindahkan beberapa batu kecil.

"Benarkah, waah hahaha... Akhirnya, Raen apakah kamu tidak apa-apa?"

Mereka dapat bernapas lega setelah melihat gadis itu masih utuh, yah! masih utuh dan selamat. Sambil mengeluarkan tubuh Raen dari tumpukan tanah, memastikan bahwa dia baik-baik saja.

"Aku tidak apa-apa biarkan aku beristirahat sejenak, hahaha..." ucap Raen.

"Haaah... Hahaha... Kamu benar-benar sudah gila ya, kamu benar-benar menghancurkan goa itu." ujar Kurila kagum.

"Ini adalah pengalaman yang cukup menakutkan Haaah... Untung saja kita berhasil selamat!" tambah Astara sambil menarik nafas dalam-dalam.

Kurila hanya mengangguk setuju, setelah cukup beristirahat mereka pun melanjutkan perjalanan menuju timur, menyadari bahwa saat ini sudah lebih dari tengah hari melihat posisi matahari sudah condong ke arah barat mereka mempercepat pergerakan. Raen yang terbaring lemas masih beristirahat di atas punggung Kurila yang lebar.

Mereka terus berlari menuju timur, arah yang telah ditunjukkan oleh peta itu, membelakangi sinar matahari yang lama kelamaan mulai menguning, air sungai yang jernih terlihat berkilauan, dedaunan yang segar bergerak santai ditiup angin sore yang tenang. Sesekali mereka berhenti untuk melihat peta kembali memastikan arah yang mereka tuju benar.

Lihat selengkapnya