“Namun anak yang tidak dapat membalas kebaikan orang tuanya, apa jadinya!? padahal masih bisa berbuat, tapi diam saja! padahal masih bisa berusaha, tapi sudah menyerah! apakah itu juga yang diharapkan orang tua kepada anaknya!? Aku tidak tahu apa yang aku lakukan saat ini benar-benar akan berhasil, namun aku tidak mau menjadi anak yang berada di barisan pecundang!”
Berdiri di atas dek kapal dengan menggenggam Galah, Astara merenung sambil memandang jauh ke cakrawala. Menghirup dalam-dalam aroma laut yang segar, angin lembut menerpa wajahnya membawa aroma garam yang khas. “Tunggulah aku ibu, akan segera aku bawakan penawar itu, aku mohon bertahan lah sampai aku kembali!” ucap Astara dalam hati.
Layar putih besar mengembang penuh, membawa kapal bergerak maju dengan tiupan angin, membelah ombak dengan gagah berani. Matahari siang bersinar begitu terang, memantul di atas ombak laut yang beriak menciptakan kilauan permata. Dilain sisi sejumlah awak kapal sedang sibuk dengan tugas mereka membuat suasana di kapal itu begitu sibuk dan ramai. “Puuk” sebuah tepukan di bahu kiri mengagetkan Astara dari lamunannya. “Hei, apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Raen.
“Kita sudah pergi selama berhari-hari namun rasanya waktu terus saja memburu ku, aku takut kita tidak akan berhasil!”ucap Astara cemas.
“Aku mengerti kecemasan mu! kamu tidak sendirian kawan lihatlah kita sekarang bersama-sama, mari kita lakukan semua ini dengan baik agar kita dapat segera kembali membawa ramuan ajaib itu. Sejauh ini kita telah melalui banyak hal bersama, Aku yakin kita dapat menyelesaikannya.”
“Semoga saja, aku harap seperti itu!” ucap Astara.
“Bukankah itu yang selalu membuat manusia terus hidup?!” timpal Raen.
Sambil mengernyitkan alisnya “Apa itu?”
“Harapan! harapan dapat membawa seseorang melampaui batasannya dan harapan pula yang membuat seseorang untuk tetap maju, bukankah begitu!” terang Raen.
Seketika senyum hangat mengembang di wajah Astara, seolah pikirannya tercerahkan dengan perkataan Raen, membawa cahaya harapan kembali kedalam hatinya yang sempat redup! memberikan sebuah dorongan semangat yang sangat kuat.
“Heeii… Lihatlah ke arah timur.” teriak Kurila.
“Apakah itu pulau paruh burung?” tanya Astara.
“Yaaah… Itu adalah tujuan kita!” ucap Nahkoda di balik kemudi kapal.
Mereka bertiga terdiam sejenak, menikmati momen kebersamaan di tengah perjalanan yang penuh tantangan. Di kejauhan, awan-awan putih bergulung-gulung di langit biru, menciptakan bayangan yang menari-nari di atas permukaan laut, menggantung di antara langit dan bumi, memberikan pemandangan yang menakjubkan.
“Pemandangan yang sangat indah.” ucap Kurila dengan penuh kekaguman.
“Kamu benar, Dunia ini sangat indah.”
“Sudah aku bilang, pengetahuanmu tentang dunia ini mungkin masih seujung jari kuku ku! hahahaha…”
kelakar Kurila.
Mereka pun larut dalam suasana yang penuh keakraban. Di kejauhan, garis pantai mulai terlihat gunung yang berwarna hijau mulai terlihat samar di balik awan putih yang melayang.
“Kapten! sepertinya ada sesuatu yang besar mendekat dari arah selatan.” teriak salah satu kru kapal.
Ombak mulai bergolak di sekitar kapal, semua mata tertuju pada arah datangnya gelombang itu. Dari dalam air muncul sirip yang amat besar bercorak kuning dan hijau, menyembul ke permukaan. Perlahan sosok raksasa itu semakin jelas, seekor paus berukuran sangat besar bergerak agresif menuju kapal mereka.
“Awas benturan!” teriak kru kapal memperingati.
Dengan sigap mereka semua berpegangan pada apa saja, namun sial Kurila belum sempat berpegangan saat paus itu menghantam kapal, mengakibatkan dia terlempar dan jatuh ke dalam laut. Salah satu kru kapal segera menolongnya dengan melemparkan pelampung yang telah di ikat.
“Cepat raih pelampung itu, akan kami tarik.”
Kurila terdiam sejenak saat paus itu mengeluarkan suara rendah, seolah dia mengerti bahasa paus.
“Tunggu!” teriak Kurila kepada kru kapal.
Di dalam air, Kurila mencoba untuk berkomunikasi dengan paus itu. Paus yang awalnya bergerak secara agresif perlahan mulai tenang, Paus itu mulai mendekat perlahan dan memperlihatkan bagian sirip kirinya yang tertusuk tombak. “Tenang lah semua! paus ini tidaklah ingin menyerang kita, dia hanya mempertahankan dirinya karena pernah di serang oleh perompak.” ucap Kurila pada yang lain.
Setelah naik ke atas dek kapal, Kurila mulai menjelaskan kondisinya. Sebuah tombak yang seukuran tiang bendera itu menancap persis di sirip bagian kirinya. “Kita harus menolongnya, jika tidak paus itu dalam bahaya karena tombak yang menancap akan membuatnya kesakitan.” semua yang ada di dek kapal mengerti dan mulai mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan. Kurila kembali turun kedalam air untuk menarik tombak itu.
“Kurila, hati-hati!” ucap Astara dengan nada serius.
Kurila membalas dengan anggukan setelahnya dia kembali kedalam air dan berenang dengan perlahan mencoba untuk tidak mengejutkan paus itu, segera dia mengikatkan tali di ujung tombak dan memberi aba-aba pada semua orang yang berada di atas dek. Dengan aba-aba yang yag bersamaan, semua kru kapal serentak menarik tali itu ke arah yang berlawanan dan “Bruushh…” tombak itu terlepas dari badan paus.
“Kita berhasil” teriak Kurila dari bawah.
suara teriakan itu diiringi teriakan tiang dari seluruh kru kapa.
Tiba-tiba paus itu mengeluarkan suara yang keras, melambaikan sirip besarnya ketas air dan mulai berenang dengan cepat, ombak bergejolak dengan hebat membuat kapal bergoyang, kibasan sirip ekornya yang besar terpampang di atas air seolah mengucapkan terima kasih sekaligus perpisahan. Paus itu menyelam ke dalam lautan yang gelap, Menghilang di dalam lautan.
“Kemana perginya paus itu?”
“Entahlah, mungkin dia kembali ke kawanannya” jawab Kurila.
Hari sudah menjelang sore saat kapal mulai bersandar. Astara, Raen dan juga Kurila melangkah turun, menginjakkan kaki mereka di dermaga kayu yang berderit. Tak lupa pula mereka mengucapkan terima kasih kepada nahkoda dan seluruh kru kapal yang telah mengantarkan mereka. Dengan langkah mantap mereka mulai perjalanan lagi.
Disepanjang pelabuhan, para nelayan menggelar hasil tangkapan mereka. Ikan-ikan beraneka ukuran dan jenis, tersusun rapi di atas dedaunan besar. “Hasil laut yang sangat luar biasa!” ucap Raen kagum.
Astara mengangguk setuju, karena sedari tadi yang mereka lihat hanyalah hiruk pikuk masyarakat yang sibuk dan ramai. Beberapa anak kecil berlarian di antara keramaian, tertawa riang sambil berkejaran. “Maaf, aku mau bertanya apakah Anda tahu arah menuju Gunung Jaya?” Tanya Astara kepada penjual ikan yang tampak ramah.
“Gunung Jaya? Kenapa kamu ingin kesana?” tanya pedagang ikan itu terkejut.
“Sebenarnya aku sedang mencari Ramuan Kuansu.” jawab Astara.
“Ra.. Ramuan Kuansu?! Heem… Apakah kamu akan ke perkampungan Suku Lembah Cendrawasih?”
“Ya benar sekali, apa kamu tahu arahnya?” sahut Raen.